Jakarta (Greeners) – Proyek ekosistem karbon biru (blue carbon) untuk memitigasi perubahan iklim akan fokus di wilayah timur Indonesia. Lokasinya meliputi Papua Barat Daya, Belitung dan Minahasa.
Hampir 70 % wilayah sasaran proyek berada di sana. Perincian lokasinya antara lain Raja Ampat (Papua Barat Daya), Likupang (Minahasa) dan Juru Seberang (Belitung). Sejumlah lokasi tersebut ekosistemnya masih dalam kondisi baik.
Proyek karbon biru ini berjalan atas kolaborasi Kementerian PPN Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) dan Agence Francaise De Development (AFD). Nilai hibah proyek mencapai 600.000 Euro atau setara Rp 9,63 miliar. Proyek yang mulai dicanangkan Oktober 2022 ini akan berlangsung selama 36 bulan.
Istilah karbon biru mengacu pada keadaan penyerapan dan penyimpanan karbon pada ekosistem pesisir. Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi blue carbon terbesar di dunia. Salah satunya sebagai negara dengan mangrove terluas di dunia.
Ekosistem Sasaran Karbon Biru
Di sisi lain, blue carbon pun memiliki kontribusi penting pada pencapaian tujuan penurunan emisi Enhance NDC Indonesia 31,89 % dengan usaha sendiri. Lalu 43,20 % dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Optimalisasi potensi blue carbon juga perlu dapat dukungan kebijakan dan pembiayaan yang terintegrasi.
Direktur Kelautan dan Perikanan, Kementerian PPN Bappenas, Sri Yanti mengatakan, Bappenas berharap dapat menciptakan ekosistem blue carbon yang sehat dan berkembang.
“Bappenas bercita-cita mewujudkan ekosistem mangrove dan lamun sebagai ekosistem blue carbon yang berkembang. Dalam mencapai hal tersebut diperlukan langkah-langkah strategis,” kata Sri Yanti, di Jakarta, Senin (29/5).
Bappenas mencatat, potensi karbon biru di Indonesia berasal dari hutan mangrove 3,3 juta hektare dan padang lamun 293.000 hektare. Ekosistem pesisir diperkirakan mampu menyimpan karbon hingga 3,3 gigaton atau 17 % dari karbon biru global.
Peran Penting Masyarakat Adat
Pengelolaan blue carbon butuh partisipasi banyak pihak, salah satunya masyarakat adat. Mereka yang tinggal dan bekerja di wilayah pesisir ini memiliki peran penting untuk memudahkan perencanaan mengelola karbon biru.
Sri Yanti mengatakan, tujuan pengelolaan karbon biru yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Terutama peningkatan kualitas lingkungan lokasi tujuan proyek.
Country Director of Indonesia AFD, Yann Martres juga menilai, keterlibatan masyarakat adat menjadi kunci dari proyek ini. Pelaksana proyek tentunya harus adaptif dengan peraturan yang telah ada.
“Kita tidak bisa menentang keinginan adat di sana. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat lokal adalah kunci untuk mendukung proteksi, rehabilitasi yang sesuai regulasi,” ungkap Yann.
Di samping itu, pengelolaan blue carbon juga memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas, pembiayaan berkelanjutan, ekosistem yang sehat. Selain itu juga koordinasi strategi pembangunan antar kementerian dan lembaga yang terkait.
Penulis : Dini Jembar Wardani
Editor : Ari Rikin