Jakarta (Greeners) – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan puncak musim hujan di Jawa Timur terjadi pada Januari-Februari 2023. Namun masyarakat harus tetap mewaspadai ancaman potensi banjir lahar dingin usai erupsi Semeru.
Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG Supari menyatakan, pada periode Januari- Februari curah hujan akumulatif akan mencapai nilai maksimum.
“Meski begitu wilayah terdampak debu vulkanik erupsi Semeru harus waspada potensi banjir lahar dingin. Karena Desember ini hujan tetap ada meski intensitasnya tak tinggi,” katanya kepada Greeners, Jumat (8/12).
Ia menyebut puncak musim hujan tahun 2022/2023 di masing-masing daerah berbeda. Hal ini terjadi karena awal musim penghujan masing-masing daerah juga berbeda.
Misalnya, untuk Zona Musim (ZOM) di Pulau Sumatra yang mengalami puncak musim hujan pada November 2022. Lalu ZOM di Pulau Kalimantan dengan puncak musim hujan pada November 2022.
Demikian pula ZOM di Pulau Bali dan Nusa Tenggara sama dengan Sulawesi yang mengalami puncaknya pada Januari 2023. Sementara puncak musim hujan di Pulau Maluku dan Papua yaitu pada Februari 2023.
Hindari Zona Ancaman Banjir Lahar dari Erupsi Semeru
Supari juga mengimbau masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan, terutama terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor, badai, angin puting beliung hingga gelombang dingin.
“Seiring dengan puncak musim hujan maka ancaman bencana hidrometeorologi juga meningkat,” ucapnya.
Ia menambahkan, sejauh ini bencana hidrometeorologi masih bisa terjadi kapan saja tak selalu beriringan dengan puncak musim hujan. Menurutnya, hidrometeorologi bersumber dari perubahan iklim dan cuaca ekstrem.
Koordinator Gunung Api Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Oktory Prambada menyatakan, status Gunung Semeru pada Jumat (9/12) telah menjadi Siaga (level III) dari yang sebelumnya berstatus Awas (level IV).
Secara status telah menurun seiring menurunnya aktivitas vulkanik. Akan tetapi, Oktory mengingatkan agar masyarakat tetap meningkatkan kewaspadaan akan ancaman banjir lahar.
“Karena material sisa erupsi banyak yang mengendap di lereng bagian atas Semeru sehingga ancaman banjir lahar mungkin terjadi. Terlebih saat musim penghujan,” jelas dia.
Ia menambahkan, banjir lahar berpotensi sama dengan awan panas guguran (APG) sehingga membahayakan masyarakat. Oktory meminta agar masyarakat tak melakukan aktivitas di sepanjang wilayah kawasan rawan bencana (KRB) I.
“Termasuk sepanjang kawasan Besuk Kobokan, 17 kilometer dari puncak atau pusat erupsi,” imbuhnya.
Di luar jarak tersebut, masyarakat ia imbau tak melakukan aktivitas pada jarak 500 meter dari tepi sungai (sempadan sungai) di sepanjang Besuk Kobokan.
“Karena berpotensi terlanda perluasan awan panas dan aliran lahar hingga 19 kilometer. Serta tak beraktivitas dalam radius 8 kilometer dari kawah atau puncak gunung,” kata Oktory.
Suhu Lahar Hujan Berpotensi Tinggi
Senada dengannya, Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta Eko Teguh Paripurno mengatakan, material APG berpotensi menjadi lahar hujan yang bersuhu tinggi. “Karena hujan turun setelah awan panas gunung terjadi,” ucapnya.
Sebelumnya, Gunung Semeru meletus pada Minggu, (4/12) sekitar pukul 02.46 WIB dengan tinggi kolom abu 1.500 meter di atas puncak gunung sekitar 5.176 meter di atas permukaan laut. Erupsi tersebut terekam dalam seismograf dengan amplitudo maksimum 35 milimeter dengan durasi 0 detik.
Secara kegempaan, seismograf mencatat delapan kali gempa selama letusan dengan amplitudo 18-22 milimeter dan durasi sekitar 65-120 detik. Masyarakat pun mengungsi.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin