Jakarta (Greeners) – Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan akan ditutup secara permanen oleh pemda Yogyakarta mulai April mendatang. Rencananya, TPA Piyungan akan digunakan sebagai Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) untuk wilayah kota. Namun, warga menolak rencana tersebut.
Hasil dari pengelolaan sampah tersebut rencananya akan berbentuk refuse derived fuel (RDF) untuk campuran batu bara. RDF merupakan hasil pengelolaan sampah kering untuk menurunkan kadar air hingga <25% dan menaikkan nilai kalornya.
Menurut Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta, Elki Setiyo Hadi, proyek-proyek pengelolaan sampah sebelumnya telah merugikan warga. Sehingga, penolakan warga saat ini bukan tanpa sebab.
BACA JUGA: IPAL Domestik Minim Tingkatkan Beban Pencemaran
“Warga di sekitar TPA Piyungan adalah pihak yang paling rugi. Khususnya, kerugian pada dampak-dampak lingkungannya,” ungkap Elki lewat keterangan tertulisnya, Senin (25/3).
Selama 30 tahun, masyarakat di sekitar TPA Piyungan telah mengalami dampak negatif yang parah terhadap lingkungan. Dampak ini terutama berkaitan dengan pencemaran air.
Pentingnya Keterlibatan Masyarakat
Elki menambahkan, keterlibatan masyarakat merupakan suatu hal yang penting. Sebab, paradigma desentralistik seharusnya dapat melibatkan semua elemen, termasuk masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Piyungan.
Apalagi, saat ini masyarakat lokal TPA merasakan kerugian lingkungan. Sumur-sumur mereka telah tercemar air lindi dan penumpukan sampah. Padahal, UU No.18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah menjelaskan pengurangan sampah di sumbernya merupakan prioritas utama.
“Perlu turunan aturan teknis dari Perpres, Pergub, atau Perda dengan jelas dalam menjelaskan pengelolaan sampah seperti pengurangan dan penanganan sampah. Sehingga, sektor-sektor tertentu seperti kawasan komersial dan kawasan industri dapat bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka hasilkan,” tambah Elki.
RDF Bukan Menjadi Solusi
Walhi Yogyakarta menilai RDF belum menjadi solusi mengatasi permasalahan sampah di DIY. Menurut mereka, bahan anorganik untuk membuat RDF merupakan sampah anorganik yang mempunyai kriteria tertentu. Sehingga, tidak semua sampah dapat terolah.
“Apabila diproduksi dengan skala masif, tidak menutup kemungkinan justru sampah yang tidak sesuai kriteria tetap tidak terolah, dan di sisi lain justru akan terjadi impor sampah, seperti di beberapa wilayah yang telah menggunakan teknologi RDF,” tambah Elki.
Pembakaran RDF juga tidak menutup kemungkinan dapat berakibat pada terjadinya pelepasan karbon ke udara. Hal ini bisa memperparah terjadinya perubahan iklim. Dengan demikian, Walhi Yogyakarta mendorong pemerintah DIY untuk serius mempertimbangkan penerapan paradigma desentralistik dalam pengelolaan sampah.
BACA JUGA: Pencemaran Mikroplastik Hantui Danau Poso
Walhi merekomendasikan pemerintah DIY untuk serius mempertimbangkan penerapan paradigma desentralistik dalam pengelolaan sampah. Pendekatan ini melibatkan aktifnya pemerintah daerah, komunitas, dan sektor swasta dalam merancang solusi yang sesuai dengan karakteristik setempat.
Selanjutnya, Walhi menekankan pentingnya partisipasi aktif masyarakat. Dengan melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, harapannya bisa meningkatkan efektivitas solusi. Pemerintah daerah juga perlu mendorong program-program yang berfokus pada pencegahan dan pengurangan sampah di tingkat lokal.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia