Jakarta (Greeners) – Konferensi Biodiversitas ke-15 Perserikatan Bangsa Bangsa (COP 15) menyepakati penetapan kawasan lindung minimal 30 % daratan dan lautan. Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) justru menyebut upaya tersebut justru mengancam eksistensi masyarakat adat.
“Kekhawatiran kita yaitu penetapan kawasan 30 % itu justru melanjutkan praktek perampasan masyarakat pesisir yang jauh sebelumnya padahal telah menjaga laut,” kata Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Parid Ridwanuddin kepada Greeners, Sabtu (7/1).
Ia menyebut, sudah banyak proyek-proyek konservasi dari luar negeri yang malah tak berdampak positif ke masyarakat. Misalnya, program Coral Triangle Initiative – Coral Reefs, Fisheries and Food Security atau CTI-CFF yang difokuskan untuk perlindungan karang di Indonesia Timur justru banyak terjadi kerusakan hingga penangkapan ikan ilegal.
“Selama ini pun belum ada evaluasi menyeluruh terkait dampak konservasi perairan terhadap masyarakat, baik dari laporan pemerintah pusat maupun daerah. Padahal evaluasi baik ekonomi, lingkungan masyarakat pesisir ini sangat penting,” ungkapnya.
Penetapan perlindungan konservasi perairan diputuskan melalui keputusan pemerintah. Seperti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta di bawah pemda yaitu Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD).
Parid menambahkan, sebelum ada negara, masyarakat adat di Indonesia telah melakukan konservasi laut. Mulai dari tradisi Sasi Lompa di negeri Haruku, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah hingga tradisi menjaga laut Suku Koiwai Papua.
Menurutnya, pendekatan konservasi yang pemerintah lakukan hanyalah bersifat top down. Padahal, sejatinya pemerintah bisa mengkolaborasikan antara program konservasinya bersama masyarakat adat.
“Beberapa yang kami datangi mereka bahkan tidak tahu kalau wilayah mereka sudah tidak boleh untuk menangkap ikan di kawasan konservasi,” imbuhnya.
Evaluasi Regulasi Kawasan Lindung
Ridwan juga menyorot pentingnya evaluasi regulasi untuk memaksimalkan upaya konservasi kawasan lindung. “Seperti pada Perppu Cipta Kerja yang sebenarnya sama dengan UU Cipta Kerja ini sangat mengancam konservasi,” kata dia.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, tentang panas bumi melegalkan tambang panas bumi di wilayah perairan. Itu artinya, melegalkan pengrusakan mangrove untuk agenda seperti proyek strategis nasional.
Pasal 28 A UU Minerba menyatakan, wilayah hukum pertambangan adalah seluruh ruang darat, laut, dan ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah Indonesia. “Ini perlu dievaluasi dan dicabut karena sama sekali berseberangan dengan komitmen konservasi,” tandasnya.
Penulis: Ramdani Wahyu
Editor : Ari Rikin