Walhi: Usut Tuntas Pelanggaran Tata Ruang di Laut Tangerang

Reading time: 3 menit
Walhi meminta pemerintah untuk mengusut tuntas pelanggaran tata ruang di laut Tangerang. Foto: KKP
Walhi meminta pemerintah untuk mengusut tuntas pelanggaran tata ruang di laut Tangerang. Foto: KKP

Jakarta (Greeners) – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia baru-baru ini menyatakan bahwa terdapat Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang terbit di kawasan pagar laut Tangerang, Provinsi Banten. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) meminta untuk usut tuntas pelanggaran tata ruang dan mafia tanah dari penerbitan SHGB dan SHM di laut Tangerang tersebut.

Menteri ATR/Kepala BPN, Nusron Wahid mengatakan setidaknya terdapat 263 bidang tanah dalam bentuk SHGB dengan kepemilikan sebanyak 234 bidang tanah atas nama PT Intan Agung Makmur. Kemudian, sebanyak 20 bidang tanah atas nama PT Cahaya Inti Sentosa serta sembilan bidang tanah atas nama perorangan. Selain itu, terdapat SHM sebanyak 17 bidang.

Menurut Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang Walhi, Dwi Sawung, penerbitan sertifikat Hak Atas Tanah (HAT) dalam bentuk SHGB dan SHM kepada korporasi maupun perorangan di wilayah laut merupakan pelanggaran hukum.

“Pelanggaran atau malpraktik dalam proses penerbitan sertifikat tersebut harus diusut tuntas,” ujar Dwi lewat keterangan tertulisnya, Senin (20/1).

BACA JUGA: Ancaman Mikroplastik dari 600 Ribu Ton Sampah Tiap Tahun Ke Laut

Walhi juga menilai terdapat potensi pelanggaran hukum terkait penerbitan sertifikat hak atas tanah di wilayah laut. Sebab, terdapat larangan pemberian hak pengusahaan atau konsesi agraria di perairan pesisir bagi para pengusaha. Hal itu tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Larangan tersebut bertujuan untuk mencegah pengkaplingan atau privatisasi yang dapat merusak ekosistem lingkungan. Selain itu, hal ini juga berpotensi menimbulkan diskriminasi secara tidak langsung dan menghilangkan hak tradisional yang bersifat turun-temurun. Larangan ini diharapkan dapat melindungi penghidupan nelayan tradisional, masyarakat adat, dan masyarakat lokal.

Rampas Ruang Laut

Sementara itu, Walhi juga telah menelusuri dua perusahaan, yaitu PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa. Kedua perusahaan tersebut tercatat mendapatkan SHGB dengan total 254 bidang tanah.

Berdasarkan penelusuran Walhi melalui dokumen akta perusahaan, terdapat indikasi bahwa kedua perusahaan ini berafiliasi dengan PT Agung Sedayu Group. PT Agung Sedayu Group merupakan sebuah korporasi pengembang properti raksasa.

Dwi mengatakan, kepemilikan saham Agung Sedayu Group melalui entitas usaha dan orang-orang afiliasinya pada dua perusahaan pemegang SHGB di wilayah laut terpagari sepanjang 30 kilometer semakin menguatkan dugaan banyak pihak. Dugaan tersebut menunjukkan bahwa korporasi pengembang properti raksasa tersebut terlibat dalam kasus pemagaran laut.

“Pemagaran laut ini merupakan bentuk dari perampasan ruang laut (ocean grabbing). Sebagaimana telah Walhi serukan terhadap proyek reklamasi di 28 provinsi, termasuk proyek pertambangan pasir laut,” imbuh Dwi.

BACA JUGA: 59% Sampah Styrofoam Bermuara ke Sungai

Lebih lanjut, Dwi mengutip Pasal 65 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021. PP tersebut menyatakan bahwa pemberian hak atas tanah di wilayah perairan hanya dapat dilakukan setelah memperoleh perizinan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.

Merujuk pernyataan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menyebut bahwa

Dwi lantas merujuk pernyataan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menyebut bahwa pagar di atas laut di wilayah Tangerang tidak memiliki izin (ilegal). Dengan demikian, terdapat potensi pelanggaran hukum dalam proses penerbitan sertifikat hak atas tanah tersebut.

Desak Pemerintah

Atas terkuaknya aktor korporasi maupun perorangan pemegang SHGB dan SHM di wilayah laut tersebut, Walhi menuntut pemerintah untuk melakukan empat langkah mendesak. Pertama, pemerintah mengevaluasi dan membatalkan pemberian hak atas tanah pada korporasi dan perorangan di atas wilayah laut Tangerang.

Selain itu, Walhi juga meminta pemerintah mengusut pelanggaran hukum pada proses pemberian hak atas tanah yang melibatkan para mafia tanah. Hal itu mencakup penerbit maupun pemegang sertifikat.

Kemudian, Walhi menyerukan agar pemerintah menghentikan upaya reklamasi pada wilayah pesisir dan laut Banten. Sebab, reklamasi telah menutup akses ke sumber penghidupan masyarakat pesisir dan merusak lingkungan di sumber material pengurukan lahan.

Terakhir, Walhi meminta pemerintah membatalkan Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK 2. Mereka menilai proyek ini berjalan dengan praktik pelanggaran hukum yang terstruktur, sistematis, dan masif.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top