Jakarta (Greeners) – Outlook 2019 Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) memaparkan bahwa eskploitasi Sumber Daya Alam semakin bertambah terutama pada sektor pertambangan batubara dan kelapa sawit. Berdasakan Rencana Kerja Pemerintah tahun 2019 akan berfokus pada upaya pembangunan sumber daya manusia dan pemerataan wilayah yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi melalui investasi dan ekspor.
Direktur Eksekutif WALHI Nur Hidayati mengatakan bahwa persoalan lingkungan dan bencana masih akan menjadi masalah utama, mengingat dominasi investasi, kebijakan bermuka ganda dan belum adanya perlindungan pejuang lingkungan hidup masih terus berlangsung. Ia juga menyoroti calon presiden dan calon wakil presiden yang saat ini tengah berkampanye, belum menjadikan isu lingkungan dan bencana sebagai prioritas.
“Kita teliti bahwa ke depan isunya masih sangat ekstraktif karena masih ada target-target peningkatan pembangunan pertambangan batubara. Pembangunan ini akan terus ada jika pemikiran pemerintah dan industri batubara selalu membanggakan bahwa batubara merupakan energi yang murah. Padahal murah itu karena biaya sosial dan lingkungan tidak pernah dimasukkan ke biaya produksi, ada eksternal negatif yang harus ditanggung oleh masyarakat,” ujar Yaya usai acara Peluncuran Tinjauan Lingkungan Hidup 2019: “Akankah Membawa Beban Masa Kini Ke Masa Depan?” di Jakarta, Senin (28/01/2019).
BACA JUGA: WALHI dan ICEL Minta Isu Lingkungan Dibahas dalam Debat Kedua Pilpres 2019
Menurut Yaya pertambangan batubara sangat berbahaya karena selain bisa mengakibatkan pemanasan global, lubang tambang juga berbahaya. Hingga kini kasus pertambangan batubara di Kalimantan Timur yang memakan 33 korban jiwa anak-anak yang tenggelam di lubang tambang belum juga selesai.
“Hal-hal seperti itu sebenarnya yang kita takutkan. Banyak korban yang terenggut karena pembangunan energi kotor ini. Belum lagi proses reklamasi pasca tambang tidak terurus serta pencemaran yang terjadi di wilayah pertambangan tidak pernah diberikan sanksi,” kata Yaya.
Selain itu, pembangunan bidang sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup salah satu sasarannya adalah peningkatan produksi kelapa sawit sebesar hampir dua juta ton. Perumusan target peningkatan penyediaan Biofuel sebesar 10,9 juta kilo liter (KL) pada 2019 juga dikhawatirkan melahirkan pertentangan dengan semangat Inpres Moratorium Kelapa Sawit dan diterapkan dengan pemberian insentif keliru kepada korporasi.
“Dengan target biofuel yang ingin ditingkatkan ke B30, menurut kami perencanaan tersebut tidak berbasis suatu proses evaluasi yang menyeluruh. Kalau kita lihat dari CPO Fund. Dana insentif untuk perkebunan kelapa sawit itu semua jatuh ke perusahaan besar, yang banyak menikmati PT Wilmar. Pada tahun lalu PT Wilmar menerima dana subsisdi lebih besar dari pada dana yang disetor untuk bea ekspor,” kata Yaya.
BACA JUGA: WALHI Temukan Pembukaan Lahan Ilegal Seluas 34 Hektare di Pangkalan Bun
Sementara itu, Ketua Tim Adhoc Politik Eksekutif Nasional WALHI Khalisah Khalid mengatakan sektor sawit yang sudah memiliki inpres moratorium masih lemah dalam impelmentasi, terbukti dengan pelepasan lahan yang dilakukan Kementerian LHK. Maka itu WALHI mendorong penguatan kebijakan moratorium sawit.
“Tapi bukan hanya itu saja, harus satu paket dengan penegakan hukum, audit perizinan dan review perizinan, karena ini moratorium yang memberikan kesempatan pembenahan tata kelola. Kalau benar ingin memperbaiki, kebijakannya tidak bisa lagi kontradiktif atau menginginkan pembangunan berkelanjutan tapi masih ekstraktif. Untuk masalah pertambangan batu bara, saran WALHI adalah stop pembangunan energi kotor dan bangun road map untuk transisi keadilan. Salah satunya dengan energi terbarukan yang berkeadilan,” kata Khalid.
Penulis: Dewi Purningsih