Jakarta (Greeners) – Hingga saat ini, pola yang digunakan dalam seluruh kasus perampasan sumber daya alam dan perusakan lingkungan hidup masih didominasi oleh konflik lingkungan yang disebabkan penggunaan “tangan negara” sebagai bentuk legitimasi melalui berbagai kebijakan dan regulasinya.
Oleh karenanya, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Nur Hidayati menagih janji Presiden Joko Widodo yang akan membentuk Badan Penyelesaian Konflik Agraria. Sepanjang dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, masih belum menunjukkan adanya niat untuk membentuk badan tersebut hingga mengakibatkan maraknya konflik tenurial berbau lingkungan hidup dan sumber daya alam semakin marak terjadi.
Ditambah lagi, pemerintah memberikan delegasi kepada korporasi melalui konsesi-konsesi yang diberikan satu paket dengan fasilitas keamanan melalui aparatur negara, seperti polisi dan tentara, membuat sebaran konflik lingkungan hidup dan sumber daya alam terus meluas.
Berdasarkan catatan Walhi, pada 2010 hingga 2015, sedikitnya terdapat bentuk kriminalisasi terhadap 773 orang, 233 mengalami penganiayaan, dan 28 orang meninggal dunia.
“Itu hanya berdasarkan data yang kami dampingi saja, belum dari NGO lain,” ujarnya saat ditemui dalam Pemaparan Peta Konflik Lingkungan Hidup-SDA dan Tantangan Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, di Jakarta, Kamis (02/06) lalu.
Nur Hidayati menjelaskan, pada tahun 2015, penganiayaan terjadi pada 41 orang. Jumlah itu meningkat drastis ketimbang tahun 2014 dimana penganiayaan menimpa 7 orang dan 3 orang di tahun 2013. Dengan maraknya konflik tenurial, masyarakat semakin tersingkir ketika penegak hukum melihat pemegang legalitas sebagai pihak yang harus dibela. Celakanya, pembelaan yang dilakukan justru berujung pada tindak kekerasan.
Menurut Nur Hidayati, jika mengacu pada visi pemerintah untuk membangun dari kawasan pinggiran dan tapak, terjadinya konflik sangat bertolak belakang. Untuk itu, perlu untuk menyelaraskan visi pemerintah dengan penegak hukum.
Kurangnya konsistensi pengelolaan lingkungan ini, lanjutnya, ditunjukan dengan beberapa kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah justru berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan dan sumber daya alam. Salah satunya, kebijakan deregulasi perizinan berbisnis yang diterapkan pemerintah baru-baru ini. Selain itu, adanya kemudahan investasi serta pembangunan proyek besar untuk eksploitasi, menurut Nur Hidayati, juga menambah potensi kerusakan lingkungan.
“Konsekuensi dari kebijakan ekonomi pemerintah seperti deregulasi perizinan, kemudahan investasi, dan eksploitasi justru memperparah situasi krisis lingkungan saat ini,” katanya.
Penulis: Danny Kosasih