Jakarta (Greeners) – Sepanjang tahun 2014 dan 2015, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan mencatat bahwa seluruh daerah di Kabupaten maupun Kota di Sumatera Selatan telah mengalami permasalahan terkait sumber daya air yang didominasi oleh kerusakan wilayah serapan air akibat perkebunan sawit skala besar, pertambangan batubara dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Saat ini izin perkebunan, pertambangan dan HTI mencapai 6 juta hektar atau empat kali luas kepulauan Bangka Belitung.
Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan Hadi Jatmiko menyatakan kerusakan air juga disebabkan oleh industri yang terus-menerus membuang limbahnya ke sungai yang merupakan sumber hidup bagi warga di Sumatera Selatan. Pada tahun 2015 saja, sesuai dengan beberapa catatan yang dimiliki Walhi Sumsel, Kota Pagar Alam menjadi wilayah yang paling sering mengalami persoalan terkait air, yakni sebesar 15 persen, kemudian disusul oleh Kabupaten OKU Selatan.
“Berdasarkan kategori, 78,4 persen krisis air di Sumsel disebabkan oleh kerusakan lingkungan hidup, kemudian 11,7 persen disebabkan oleh pencemaran lingkungan hidup, dan 9.8 persen penyebabnya adalah kombinasi (kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup),” ujarnya saat dihubungi oleh Greeners, Jakarta, Rabu (23/03).
Dari 60 lebih kasus catatan permasalahan air di Sumatera Selatan, 64,7 persen merupakan persoalan krisis air bersih yang dialami secara langsung oleh masyarakat. Sisanya, sebanyak 35,3 persen merupakan kasus krisis air, seperti kekeringan atau ketiadaan pasokan air untuk masyarakat. Krisis tersebut banyak disebabkan oleh kekeringan (sebesar 49 %), pencemaran sungai (17,6 %), dan musim kemarau yang berkepanjangan (15,7 %).
Krisis air bersih juga sering terjadi di wilayah yang memiliki karakteristik lahan basah (gambut) yang mempunyai luas lebih dari 1,2 juta hektare. Akibatnya, air bersih untuk konsumsi sehari-hari masyarakat sulit didapat.
Jika melihat dari karakteristik wilayah, Pagar Alam merupakan wilayah yang memiliki dataran cukup tinggi dan tidak akan mengalami krisis air. Namun fakta menunjukan persoalan krisis air justru paling sering terjadi.
Penyebabnya, wilayah tangkapan air yang terus berkurang termasuk di wilayah dataran yang lebih rendah, dimana tata ruang banyak di alihfungsikan oleh kegiatan yang mengekspolitasi sumber daya air seperti perkebunan sawit dan industri kehutanan. Sementara untuk wilayah yang banyak terdapat izin pertambangan, karakteristiknya adalah mengekstraksi wilayah tangkapana air seperti yang terjadi di Kabupaten Lahat.
“Walhi Sumsel melihat kebijakan pengelolaan sumber daya air belum mampu menjawab persoalan krisis yang dialami masyarakat, justru semakin memperburuk keadaan. Prediksi kami, jika pola dan model pembangunan yang mengekstraksi sumber daya alam secara besar-besaran tetap dilakukan, maka kehancuran ruang kehidupan di Sumatera Selatan akan semakin cepat. Terdapat bukti dan fakta bahwa banyak wilayah-wilayah baru yang mengalami bencana ekologis, padahal tidak terjadi di tahun-tahun sebelumnya,” tambahnya.
Hadi menyarankan untuk mengatasi permasalahan ini, strategi dalam waktu dekat yang bisa dilakukan adalah melakukan evaluasi dan mempelajari ulang izin serta kebijakan yang diberikan pada berbagai sektor industri yang berdampak besar dan signifikan kepada sistim ekologis. Pemerintah juga harus mendukung dan mengakui wilayah kelola masyarakat yang selama ini berkontribusi dalam menjaga lingkungan secara arif.
“Tidak cukup selesai pada tingkat administratif, melainkan juga dengan dukungan kawasan ekologis yang memberikan kontribusi secara berkelanjutan bagi peri kehidupan,” tandasnya.
Penulis: Danny Kosasih