Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menganggap proyek pembangkit listrik 35 ribu Megawatt (MW) yang diusung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sangat bertolak belakang dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan gas emisi karbon sebanyak 29 persen hingga 2030 mendatang.
Menurut Kepala Unit Kajian Walhi, Pius Ginting, dalam draf INDCs (Intended Nationally Determined Contributions) Indonesia yang akan diserahkan ke pertemuan internasional UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) di Paris, Desember 2015 mendatang, pemerintah Indonesia telah menetapkan penurunan emisi sebesar 29 persen sampai tahun 2030. Namun, dalam draf tersebut tidak dijelaskan langkah-langkah konkret yang spesifik, terukur, relevan, dan berbasis waktu.
Ditambah, banyak proyek pembangunan yang lebih menekankan eksploitasi sumber daya alam yang cenderung meningkatkan emisi. Menurut Pius, dari sekitar 54 persen proyek pembangkit listrik 35 ribu MW atau sebesar 19 ribu MW akan beroperasi dengan mengandalkan pasokan batubara.
“Proyek pembangkit listrik 35 ribu Megawatt (MW) itu terlalu bergantung pada pasokan batubara. Jadi, bagaimana mungkin menurunkan emisi karbon 29 persen pada 2030, bila karbon yang dihasilkan dari pembakaran batubara justru meningkat dua kali lipat dari 201 juta tCO2 pada 2015 menjadi 383 juta tCO2 pada 2024?” tuturnya kepada Greeners, Jakarta, Jumat (18/09).
Selain itu, Pius juga menilai pemerintah kerap memberikan subsidi dalam proyek PLT batubara. Subsidi yang paling nyata adalah dalam hal pembebasan lahan. Sementara, hutan yang difungsikan untuk menyerap emisi, justru semakin banyak dirusak untuk menggali batubara dalam rangka memenuhi kebutuhan PLTU sekitar 250 juta ton per tahun.
Sejauh ini, lanjut Pius, emisi karbon paling banyak dihasilkan dari aktivitas alih fungsi lahan, yaitu sebanyak 25 persen. Bila penggunaan batubara masih saja diutamakan oleh pemerintah, maka penghasil emisi karbon terbanyak akan berasal dari batubara.
Sebagai informasi, pada Desember mendatang, sebanyak 40 negara yang telah menyetujui menyusun INDCs akan membawa drafnya masing-masing ke pertemuan UNFCCC di Paris.
Lebih dari 50 ribu peserta dalam Konferensi Perubahan Iklim tersebut juga akan menyepakati kesepakatan baru penurunan emisi gas rumah kaca menghadapi perubahan iklim. Kesepakatan baru itu akan menggantikan skema Protokol Kyoto yang berakhir 2012 dan baru berlaku pasca 2020.
INDCs sendiri merupakan komitmen secara nasional dari berbagai negara mengenai seberapa besar kontribusi mereka dalam menangani perubahan iklim.
Penulis: Danny Kosasih