Paradigma pembangunan di Tanah Air masih selalu memandang alam sebagai objek eksploitasi. Dampaknya, warga negara tidak terlindungi dari bencana ekologis, konflik dan sengketa terkait pengelolaan alam, serta terancamnya hak generasi yang akan datang. Menanggapi paradigma ini, aktivis mendorong pembunuhan ekosistem, atau ekosida, untuk masuk ke dalam daftar kejahatan terhadap perdamaian.
Jakarta (Greeners) – Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Nur Hidayati (Yaya), menyebut pihaknya memperkenalkan penggunaan kata “ekosida” di Indonesia. Ekosida sendiri merupakan konsep atas kejahatan terhadap lingkungan hidup yang mengancam kedamaian penghuni dan ekosistem di dalamnya.
Pihaknya tengah mendorong konsep tersebut agar bisa masuk dalam Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
“Walhi sedang coba mendorong suatu konsep ekosida. (Ekosida) ini sedang kita dorong agar bisa diakui di Indonesia dan masuk ke dalam UU terkait HAM,” ujar Nur dalam webinar bertema Kedudukan Hukum dalam Menjamin Perlindungan Lingkungan Hidup dan Masyarakat, Selasa (9/3/2021).
Proses Hukum Belum Memberi Efek Jera
Lebih jauh, Yaya menilai proses hukum terkait masalah lingkungan di Indonesia masih belum memberikan efek jera. Dia mengakui, ada pejabat atau orang yang mendapat hukuman jika terjadi korupsi atau eksploitasi terhadap lingkungan. Hanya saja, korporasi yang terlibat dalam kegiatan tersebut belum tersentuh hukum.
Dia menyatakan pemberian sanksi sebatas denda tidak akan memberi efek jera bagi korporasi. Korporasi, lanjut dia, masih bisa melakukan kejahatan-kejahatan lain yang merusak lingkungan demi melanggengkan bisnisnya.
“Korporasi ini tidak bisa kita pungkiri dia memiliki kekuatan yang sangat besar. Dari berbagai kasus korupsi pejabat negara tadi, pejabatnya masuk penjara, tapi korporasi melakukan korupsi tetap beroperasi seperti biasa,” jelasnya.
Baca juga: Sebaran Potensi Energi Bersih: Tantangan Pengembangan EBT
Paradigma Ekonomi Indonesia Masih Mengeksploitasi Alam
Yaya menambahkan akar masalah dalam perlindungan lingkungan hidup adalah paradigma ekonomi di Indonesia. Menurutnya, pemerintah hanya menyimbolkan pertumbuhan ekonomi dalam Produk Domestik Bruto atau Gross Domestic Product. Dengan begitu yang terlihat hanya peningkatan volume produksi ekonomi.
Dia menyebut paradigma tersebut menjadikan alam sebagai komoditas. Hal tersebut tercermin dari produk hukum UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Kurangnya pelibatan masyarakat sipil dalam penyusunan dan di sisi lain mewadahi para pebisnis, dia nilai sebagai tanda menunjukan perlindungan lingkungan hidup dalam UU tersebut.
“Alam sudah menunjukan bencana ekologi yang terjadi secara global maupun nasional. Alam sudah tidak bisa lagi menanggung beban akibat proses ekonomi konvensional atau business as usual. UU tersebut tidak menjadikan hal-hal tersebut sebagai pertimbangan utama dan menganggap alam masih baik-baik saja,” pungkasnya.
Pada kesempatan yang sama, dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Agung Wardana, menyebut hukum lingkungan selalu didesain untuk gagal. Hal ini karena negara tidak pernah dilihat sebagai masalah, melainkan sebagai institusi netral yang merupakan sumber dan pembuat hukum lingkungan.
“Negara ini harus didudukan sebagai akar permasalahan hukum lingkungan, bukan penyelamat,” tegasnya.
Penulis: Muhamad Ma’rup