Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak pemerintah dan dunia punya komitmen yang ambisius dalam konferensi tingkat tinggi perubahan iklim (COP-26) di Glasgow, Skotlandia. Pendekatan keadilan iklim harus memenuhi dan menjawab hak masyarakat terdampak perubahan iklim. Hak tersebut meliputi lingkungan yang aman, bersih dan berkelanjutan bukan berupa perdagangan karbon.
Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi Yuyun Harmono mengatakan, perundingan terkait dampak perubahan iklim dan komitmen negara-negara pihak menekan laju perubahan iklim harus berlangsung di meja perundingan.
“Jika perundingan terjadi di luar meja perundingan, komitmen yang muncul tidak akan bersifat mandatori,” katanya kepada Greeners di Jakarta, Senin (8/11).
Menurut Yuyun, perubahan iklim bukan sesuatu yang akan terjadi 5 atau 10 tahun lagi. Perubahan iklim sudah terjadi, dampaknya sudah terasa di masyarakat. Misalnya saja siklon tropis Seroja sudah melanda Indonesia dan berujung bencana. Banyak masyarakat terdampak siklon tropis tersebut.
Belum lagi, dalam konteks hutan, hak masyarakat adat dalam mengelola hutan jangan sampai tidak mendapat ruang karena tergilas aktivitas konservasi elit yang hanya mengejar skema perdagangan karbon.
“Skema perdagangan karbon tidak bisa menjawab pemenuhan hak masyarakat terdampak perubahan iklim. Skema ini bisa membuat negara maju dan industri lari dari tanggung jawab ketika dengan skema tersebut,” paparnya.
Padahal dalam konstitusi mengatur pemenuhan hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang bersih, sehat, aman dan berkelanjutan.
Selain itu, komitmen Indonesia meninggalkan batubara juga harus benar-benar terlaksana. Dalih mempensiunkan pembangkit usang jangan lantas membuka peluang membangun pembangkit batubara baru. Hal ini jelas tegasnya akan semakin jauh menciptakan keadilan iklim.
“Masyarakat sekitar pembangkit juga terdampak pencemaran udara dan fly ash dari pembangkit tersebut,” imbuhnya.
Risiko dan Solusi Iklim ada di Nusantara
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi menegaskan, skema perdagangan karbon jangan menjadi green washing. Ia mengungkapkan, sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai hutan tropis terluas ketiga di dunia. Oleh sebab itu risiko dan solusi iklim ada di nusantara.
“Transisi energi mestinya didorong bukan hanya meninggalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), tetapi merombak sistem energi dari sentralistik ke desentralisasi, karena Indonesia negara kepulauan dan berada di ring of fire,” katanya.
Sudah ada beberapa kemajuan di Indonesia dalam 1 dekade terakhir dalam hal kebijakan, penurunan deforestasi, pemberian dan pengakuan pengelolaan hutan bagi masyarakat dan penurunan jumlah titik api.
Namun ada hal berbahaya yang tidak terungkap seperti risiko Omnibuslaw yang bisa meningkatkan deforestasi permanen di masa depan. Pemulihan ekosistem gambut juga tidak clear. Kemudian walaupun titik api menurun tetapi risiko kebakaran meningkat. Hal ini karena pembukaan lahan gambut terus terjadi dan pemulihan yang gagal.
Gelar Aksi Keadilan Iklim
Sebelumnya komunitas penggiat lingkungan termasuk Walhi menggalang aksi solidaritas keadilan iklim. Dalam aksinya, Walhi mendesak Indonesia untuk berani memberikan keadilan iklim. Dari konferensi perubahan iklim (COP-26) Glasgow Skotlandia, Walhi menilai belum jalur untuk mencapai pemenuhan Perjanjian Paris. Perjanjian itu, untuk menjaga suhu bumi agar tidak melewati ambang batas 1,5 derajat Celcius. Bahkan ada kecenderungan ambang batasnya naik.
Ruang gerak perwakilan masyarakat adat, perempuan dan anak muda juga terbatas. Mereka pun sulit menyampaikan opini di COP-26. Negara-negara yang mengalami diskriminasi vaksin global pun kesulitan hadir dalam pertemuan tersebut. Hal ini menunjukkan konferensi hanya untuk kalangan elit.
Di sisi lain perwakilan dari korporasi dan sektor bisnis justru dapat ruang mempromosikan gagasan dan solusi palsu yang berdasarkan pada mekanisme pasar. Walhi menyebut mekanisme perdagangan karbon dan offset emisi menjadi bentuk solusi palsu pengendalian perubahan iklim.
Zenzi menegaskan, negara juga harus berani memaksa korporasi bertanggung jawab atas kerusakan dan kontribusinya terhadap krisis iklim. Oleh sebab itu, negara harus berani mengoreksi dan mengubah kebijakan meletakkan investasi sebagai tujuan utama di atas keselamatan rakyat dan lingkungan hidup
Perdagangan Karbon Isu Krusial di COP-26
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan dan Kehutanan Laksmi Dewanti mengatakan, progress negosiasi pada KTT Iklim COP-26 berjalan baik.
Sinyal positif ini harapannya menjadi sebuah tanda akan tercapai kesepakatan-kesepakatan penting dari implementasi dari Paris Agreement (Paris Rules Book) yang semestinya mulai berlaku pada 1 Januari 2021.
“COP-26 ini penting karena inilah waktunya di mana negara-negara pihak dapat menyelesaikan perundingan untuk bisa mendapatkan Paris Rules Book, meskipun sempat tertunda karena pandemi Covid-19,” kata Laksmi dalam keterangannya di Jakarta, Senin (8/11).
Sejumlah isu-isu krusial yang berusaha terselesaikan dalam pelaksanaan COP-26 ini, antara lain menyangkut instrumen pasar dan nonpasar (market-nonmarket) atau perdagangan karbon (carbon pricing) pemenuhan Nationally Determined Contributions (NDC) untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga tahun 2030.
Penulis : Ari Rikin dan Ihya Afayat