Jakarta (Greeners) – Tsunami yang menimpa Provinsi Aceh pada tahun 2004 silam sudah seharusnya menjadi titik balik pembangunan yang lebih peduli terhadap lingkungan hidup di Aceh. Namun, sejak pemulihan pasca tsunami dilakukan hingga akhir tahun 2014, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh menilai pemerintah Aceh masih belum melahirkan kebijakan daerah mengenai pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Direktur Eksekutif Walhi Aceh, M. Nur, mengatakan pemerintah Aceh sendiri masih mengabaikan bagaimana membangun sektor pesisir dari hal yang dapat menimbulkan kejadian negatif maupun positif atas pengoptimalan pemanfaatan ruang sumberdaya alam pesisir sesuai dengan perintah UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Menurut Nur, sangat penting bagi Aceh untuk menyediakan instrumen pengendalian dan pengawasan pemanfaatan wilayah pesisir sebagai perlindungan dari kejadian tsunami. Ia menambahkan, kebijakan daerah soal tata ruang yang juga dituangkan melalui qanun nomor 19 tahun 2013, seharusnya mampu memberikan perlindungan untuk sektor sumberdaya alam yang lebih baik sebagai wilayah khusus atas perintah Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006.
“Kami menilai tata ruang Aceh belum mencerminkan perlindungan yang lebih baik,” katanya saat dihubungi oleh Greeners, Jakarta, Sabtu (27/12).
Komunikasi yang tidak berjalan dengan baik di lintas kelembagaan pemerintah juga masih menjadi kendala utama dalam membangun Aceh yang lebih baik dari pemanfaatan dan menjaga ruang dari pengelolaan sumberdaya alam.
Nur menyontohkan, lahirnya kebijakan Kementerian Kehutanan yang mengubah hutan Aceh hingga mencapai 80 ribu hektar melalui SK 941 tahun 2013, merupakan usulan yang tertutup dengan tujuan yang kabur. Selain itu, terbitnya sertifikat kepemilikan lahan oleh Badan Pertanahan Negara (BPN) di dalam kawasan hutan lindung Seulawah merupakan dua contoh lemahnya koordinasi lintas kelambagaan pemerintah.
“Dua contoh tersebut merupakan dampak atas kebijakan pemerintah yang dapat melemahkan lingkungan hidup sebagai pengganti bencana ekologis selain tsunami,” ungkapnya.
Terbitnya berbagai perizinan usaha perkebunan dan pertambangan maupun jenis bisnis lain yang merusak sumberdaya alam, tuturnya, juga merupakan akumulasi kebijakan pemerintah lokal, maupun nasional di periode yang berbeda. Hanya saja, dikarena Aceh tidak memiliki menajeman bank data yang baik untuk direview oleh publik, sering timbul perbedaan data dan informasi mengenai fakta tersebut.
Nur mengingatkan bahwa Aceh sudah harus segera berbenah dari berbagai aspek kebijakan pemerintah, kelembagaan, maupun pendanaan untuk mendukung perbaikan tata kelola sumberdaya yang dapat menguntungkan bagi lingkungan hidup, sosial dan hak asasi manusianya.
(G09)