Jakarta (Greeners) – Tarif KRL bakal naik. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta menyebut, wacana tersebut justru berpotensi mendorong kenaikan beban polusi udara di Jakarta.
Aktivis Walhi DKI Jakarta Muhammad Aminullah melihat peluang beralihnya masyarakat pengguna KRL ke kendaraan pribadi sangat tinggi.
“Ketika kendaraan umum tidak lagi murah, bukan tidak mungkin masyarakat pindah ke kendaraan pribadi,” kata dia kepada Greeners, Selasa (3/1).
Dengan kenaikan tarif KRL ini masyarakat akan berpikir ulang untuk menggunakan kendaraan umum. Padahal, kendaraan umum berperan menekan angka kecelakaan, polusi udara dan emisi gas rumah kaca.
“Sebaliknya, kendaraan pribadi justru menjadi salah satu sumber polusi terbesar di Jakarta,” kata dia.
Dampak kenaikan tarif KRL juga memicu keengganan masyarakat untuk menggunakan KRL sebagai transportasi publik.
Isu kenaikan tarif KRL ramai menjadi perbincangan di media sosial. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyebut akan ada penyesuaian tarif KRL bagi masyarakat berpenghasilan tinggi pada tahun 2023.
Pemerintah mengungkapkan ada dua skema pembayaran, bagi penumpang mampu dan kurang mampu. Tiketnya pun nanti akan berbeda. Tujuannya agar subsidi pada PT KCI tepat sasaran.
Namun menurut pria yang akrab disapa Anca ini, subsidi tiket KRL bukan hanya soal bantuan bagi masyarakat mampu dan tidak. Tapi peran transportasi publik yang terus mendapat dukungan melalui subsidi pengguna kendaraan umum.
“Jakarta sedang bertarung dengan kemacetan dan polusi udara. Sudah sepatutnya pemerintah khususnya Kementerian Perhubungan mendukungnya, bukan mencabut subsidinya,” ungkapnya.
Alihkan Subsidi Motor Listrik ke Transportasi Massal
Daripada mencabut subsidi KRL bagi kalangan berpenghasilan tinggi, sambung Anca pemerintah sebaiknya mencabut subsidi kendaraan listrik pribadi.
“Menurut data BPS, angka sepeda motor dan mobil penumpang di Jakarta sudah mencapai 20,66 juta unit,” imbuhnya.
Senada dengannya, pengamat transportasi Universitas Indonesia Alviansyah menyatakan, dalam konteks tarif angkutan umun, ada perbedaan antara tarif teknis dan tarif publik. Tarif teknis dihitung berdasarkan biaya operasional yang faktual.
Sedangkan, tarif publik yang dikenakan kepada publik dan biasanya lebih rendah dibanding tarif teknis karena berdasarkan daya beli masyarakat dan selisihnya merupakan kewajiban pemerintah (subsidi).
“Subsidi di sini adalah kewajiban pemerintah dalam memberikan layanan publik sesuai amanah konstitusi,” kata dia.
Beban Ongkos Cost per Miles
Sementara itu, pengamat transportasi Djoko Setijowarno dari Unika Soegijapranata Semarang menyatakan, pemerintah seharusnya tak hanya berfokus pada KRL. Akan tetapi juga pada kendaraan penunjang untuk menuju ke stasiun atau cost per miles yang justru memberatkan masyarakat.
Terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Misalnya beban ongkos ojek online, hingga ongkos parkir sepeda motor yang hitungannya per jam. “Meski subsidi sampai katakanlah gratis, jika tarif parkir naik atau biaya cost per miles mahal akan sama saja,” kata dia.
Pemerintah akan memberi insentif pembelian mobil hibrid sebesar Rp 40 juta, pembelian motor listrik Rp 8 juta dan konversi motor sebesar Rp 5 juta.
“Kebijakan pemerintah saat ini masih kurang tepat, karena bisa menimbulkan masalah baru seperti kemacetan dan kecelakaan lalu lintas,” kata dia.
Insentif kendaraan listrik semestinya untuk pembelian bus listrik untuk angkutan umum. “Hal ini akan mendorong penggunaan angkutan umum yang nyaman dan ramah lingkungan, dominasi kendaraan pribadi sekaligus berkurang,” tandasnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin