Walhi Kritik Pidato Hashim di COP 29: Prioritaskan Bisnis Ketimbang Krisis Iklim

Reading time: 3 menit
Menurut Walhi, pidato Hashim Djojohadikusumo di COP29 mementingkan bisnis korporasi daripada lingkungan. Foto: KLH
Menurut Walhi, pidato Hashim Djojohadikusumo di COP29 mementingkan bisnis korporasi daripada lingkungan. Foto: KLH

Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkritisi pidato Kepala Delegasi Republik Indonesia (Delri), Hashim Djojohadikusumo pada Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of Parties (COP) ke-29. Menurut Walhi, pidato Hashim lebih mengutamakan kepentingan bisnis korporasi daripada kepentingan lingkungan dan keselamatan rakyat yang terdampak krisis iklim.

Pengkampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian, Hashim tidak menyampaikan situasi krisis iklim, komitmen pemerintah, dan aksi konkret untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris. Hashim justru lebih banyak membicarakan skema dagang untuk mengatasi krisis iklim, seperti potensi kredit karbon, teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS), dan urgensi pendanaan untuk proyek reforestasi.

“Dalam pidato di hadapan pemimpin dunia tersebut, hampir tak ada pernyataan terkait upaya serius-ambisius pemerintah dalam penurunan emisi dan perlindungan rakyat dari dampak krisis iklim,” kata Uli di Jakarta, Rabu (13/11).

BACA JUGA: COP29: Perlindungan Wilayah Adat Harus Jadi Prioritas

Menurutnya, terdapat konflik kepentingan dalam upaya pemerintah yang tampaknya memperdagangkan krisis iklim untuk menutupi kerusakan ekologis oleh korporasi besar. Alih-alih fokus mengurangi emisi dari sektor ekstraktif seperti perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, pemerintah justru lebih memprioritaskan bisnis karbon. Pada akhirnya, hal itu hanya menguntungkan perusahaan besar.

Perusahaan-perusahaan tersebut telah merusak hutan untuk perkebunan monokultur, ekstraksi batu bara, gas alam, dan pembangkitan listrik berbahan bakar fosil. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam mengatasi akar masalah krisis iklim.

Pengkampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian. Foto: Istimewa

Pengkampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian. Foto: Istimewa

Komitmen Iklim Kontradiktif

Walhi juga menilai pidato Hashim, yang juga adik Presiden Prabowo Subianto, penuh kontradiksi. Dalam pidatonya, Hashim menjelaskan upaya Indonesia dalam mengurangi emisi karbon ke depan. Pemerintahan Presiden Prabowo memiliki target-target investasi hijau yang akan dibawa ke Indonesia.

Kemudian, terdapat juga proyek-proyek hijau yang mungkin akan dipromosikan. Salah satunya adalah program investasi besar yang telah pemerintah tetapkan. Investasi itu mencapai 235 miliar dolar selama 15 tahun ke depan, hingga 2040, untuk membangun tambahan daya listrik lebih dari 100 gigawatt.

BACA JUGA: Tersisa 17,7 Juta Ha, Wilayah Masyarakat Adat Butuh Pengakuan

Dalam pidatonya, Hashim menutup dengan kebutuhan tiga pendorong untuk menjalankan komitmen mengatasi krisis iklim. Di antaranya kerangka kebijakan pertumbuhan hijau yang komprehensif, investasi sebesar 2035 miliar USD, dan kolaborasi internasional.

“Pernyataan penutup dalam proposal penjualan krisis ini, semakin memperkuat tujuan pemerintah Indonesia untuk dapat menemukan jalan berkongsi dengan para pebisnis iklim lainnya secara global,” ucap Uli.

Walhi Desak Pemerintah

Atas kondisi krisis iklim yang semakin mengkhawatirkan, Walhi menilai pemerintah Indonesia telah gagal memastikan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup. Dalam situasi ini, Walhi mendesak pemerintah untuk segera menurunkan emisi karbon secara signifikan. Terutama, dari sektor industri ekstraktif dengan cara menghentikan penerbitan izin baru.

Selain itu, pemerintah perlu mengevaluasi dan mencabut izin perusahaan yang bermasalah. Terutama yang beroperasi di wilayah ekosistem esensial seperti hutan, gambut, pesisir, pulau kecil, dan karst.

Walhi juga meminta pemerintah untuk mempercepat penghentian operasi PLTU batubara. Kemudian, menghentikan proyek solusi palsu di sektor energi seperti biomassa, serta menghentikan proyek food estate yang merusak ekosistem esensial seperti gambut.

Selain itu, Walhi meminta pemerintah mempercepat dan memperluas pengakuan serta perlindungan hak rakyat atas wilayah kelola dan ruang hidup mereka. Kemudian, pemulihan atas fungsi ekologis yang rusak harus dilakukan dengan meletakkan tanggung jawab pada pengurus negara dan korporasi yang selama ini merusak lingkungan.

Terakhir, Walhi menekankan pentingnya peningkatan kemampuan adaptif masyarakat dengan cara melindungi wilayah-wilayah penting yang menjadi penyanggah kehidupan. Pemerintah juga diharapkan untuk mengakui pengetahuan dan cara-cara tradisional masyarakat dalam aksi-aksi konservasi, adaptasi, dan mitigasi iklim.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top