Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai penandatangan Nota Kesepahaman yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh bersama dengan Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (BP REDD+) dan Kedutaan Besar Norwegia terkait program REDD+ yang dilakukan pada Senin (17/11) lalu, masih perlu melalui kajian kritis, khususnya mengenai hubungan implementasi REDD+ dengan upaya pengukuhan kawasan hutan dan pemenuhan hak tenurial masyarakat.
Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur kepada Greeners mengatakan program yang digadang-gadang ampuh menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut ini jangan justru menjadi agenda mitigasi yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Dengan kata lain, lanjutnya, di satu sisi bagi negara berkembang REDD+ dipandang sebagai sebuah peluang pembiayaan dalam perbaikan hutan, ketika di sisi lain program ini justru mengabaikan hak-hak kelola tradisional masyarakat sekitar kawasan atas sumber kehidupannya.
“Bahkan, REDD+ dapat menjadi skema baru perampasan lahan yang bermuara pada perdagangan karbon,” ungkap Nur, Jakarta, Jumat (21/11).
Ia menambahkan, fakta bahwa perambahan hutan Aceh yang terjadi secara sistematis dan melibatkan perusahaan mampu memperkuat dugaan skema baru perampasan lahan tersebut. Nur menambahkan, perambahan hutan yang terjadi secara sistematis tersebut bisa dilihat dari dukungan kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro terhadap perusakan lingkungan.
“Sebut saja Pergub No.5/2014 tentang Budidaya dalam Kawasan Ekosistem Leuser serta SK Menhut No.941/2013. SK Menhut mengubah 80.256 Ha kawasan hutan aceh menjadi kawasan bukan hutan atau areal penggunaan lain (APL), sehingga menjadi pintu masuk bagi industri ekstraktif seperti perkebunan sawit dan pertambangan. Sedangkan alih fungsi kawasan bukan hutan menjadi kawasan hutan yang diakomodir dalam SK ini hanya seluas 26.465 Ha, jauh lebih sedikit dengan APL. Bagaimana ini bisa sinergis dengan niat reduksi deforestasi dan degradasi lahan?” ujarnya.
Nur juga menyoroti perihal hak-hak masyarakat adat yang sudah dijamin melalui putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUUX/2012. Menurutnya, hingga kini pemerintah Aceh masih mengabaikan putusan tersebut.
Hal itu terbukti dengan ketidakjelasan ruang kelola masyarakat dalam Qanun No.19/2013 tentang RTRW Aceh. Belum lagi soal pengukuhan kawasan hutan adat yang tidak jelas nomenklaturnya hingga kini.
“Lalu akan diplot lagi ruang untuk REDD+ yang katanya plus pertimbangan ekonomi masyarakat. Sekarang pertanyaan besarnya, ‘masyarakat’ yang mana? Pemerintah Aceh dan BP REDD+ harus jelas menjawab persoalan ini,” pungkasnya.
Sebagai informasi, Pemerintah Aceh dan Badan Pengelola REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest and Peatland Degradation/Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut), telah menandatangani nota kesepahaman bersama di Pendopo Gubernur Banda Aceh pada Senin (17/11/2014).
Aceh merupakan propinsi ke-8 yang menandatangani nota kesepahaman bersama BP REDD+ menyusul beberapa provinsi sebelumnya, yaitu Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, dan Riau. Penandatanganan nota kesepahaman ini dilakukan oleh Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan Kepala BP REDD+ Heru Prasetyo.
Secara khusus, Pemerintah Norwegia yang diwakili oleh Wakil Duta Besar Norwegia untuk Indonesia, Per Cristiansen, menyaksikan penandatangan tersebut. Sebelumnya, pada Mei 2010, Pemerintah Norwegia memberikan dana hibah sebesar 1 miliar dollar Amerika Serikat kepada Pemerintah Indonesia sebagai bentuk dukungan politik bagi pencapaian target Indonesia menurunkan emisi.
(G09)