Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memprediksi bahwa pada tahun 2015 ini akan terjadi peningkatan jumlah konflik agraria di beberapa daerah jika Presiden Joko Widodo tidak segera menyelesaikan masalah struktural agraria dan sumber daya alam (SDA) yang ada.
Direktur Ekskutif Walhi Nasional, Abetnego Tarigan, mengungkapkan hal tersebut bisa dilihat dari isi Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang secara tegas menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur akan digenjot besar-besaran dengan anggaran yang juga besar.
Oleh sebab itu, lanjut Abetnego, sesuai dengan salah satu janji politik yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada 12 Mei 2014 lalu, Walhi akhirnya menyerahkan dokumen untuk pembentukan Badan Penyelesaian Konflik Agraria-SDA kepada Presiden. Dokumen tersebut diserahkan di Pontianak, Kalimantan Barat pada pertemuan antara Walhi Kalimantan Barat bersama dengan Organisasi Masyarakat Sipil yang berlangsung pada 21 Januari 2015 lalu.
“Penyerahan dokumen ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan ‘Menagih Janji’ dan menuntut perubahan yang telah kami sampaikan sebelumnya pada peluncuran ‘Tinjauan Lingkungan Hidup 2015’ oleh WALHI tanggal 19 Januari 2015 lalu,” terang Abetnego kepada Greeners, Jakarta, Senin (02/02).
Menurut Abetnego, kebutuhan pembentukan Badan Penyelesaian Konflik Agraria-SDA yang sangat mendesak ini sebenarnya sudah sering disampaikan kepada Presiden pada berbagai kesempatan. Konflik agraria-SDA di Indonesia sudah menjadi masalah laten namun sangat terasa sejak jaman Orde Baru tanpa ada penyelesaian yang memenuhi rasa keadilan bagi rakyat. Bahkan hingga pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, kriminalisasi dan kekerasan masih terus terjadi.
Selain itu, jelas Abet, posisi struktural badan penyelesaian konflik agraria ini harus berada di bawah Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden, bukan di bawah kementerian. Hal ini dikarenakan puluhan tahun konflik agraria-SDA tidak bisa diselesaikan disebabkan oleh ego sektoral yang begitu kuat dan Kementerian sektor SDA-agraria justru menjadi aktor dari konflik agraria tersebut melalui berbagai kebijakan, regulasi dan perijinan yang diberikan kepada korporasi.
“Belajar dari pengalaman pada rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), program reforma agraria dimaknai hanya dengan menyerahkan tanah dalam jumlah sangat kecil melalui program pembaruan agraria nasional (PPAN). Program ini tidak menjawab apapun dalam problem struktural agraria dan SDA, dan kami tidak ingin ini juga terjadi pada pemerintahan Jokowi-JK,” tegasnya.
Sebagai informasi, catatan Walhi dalam tinjauan lingkungan hidupnya menyatakan bahwa pada tahun 2014 telah terjadi 472 konflik agraria dengan luas wilayah mencapai 2.860.977,07 Ha yang melibatkan 105.887 Kepala Keluarga. Jumlah warga yang ditahan sebanyak 256 orang, dianiaya 110 orang, tertembak 17 orang, dan tewas 19 orang. Jumlah konflik ini meningkat sebanyak 103 konflik atau 27,9% jika dibandingkan dengan jumlah konflik di tahun 2013 yang berjumlah 369 konflik.
(G09)