Malang (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur menolak rencana pengeboran baru PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur. Walhi menilai, pengeboran yang rencananya tahun 2016 mulai dilakukan di Desa Kedungbanteng, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo hanya berjarak kurang dari 2 kilometer dari area yang telah terkubur semburan lumpur Lapindo.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jatim, Ony Mahardika menyampaikan, alasan Lapindo Brantas mengebor di wilayah darat Sidoarjo untuk membayar dana talangan yang dikucurkan pemerintah sangat tidak mendasar. Menurutnya, wilayah konsesi blok Brantas berada di wilayah laut sangat luas. Konsesi ini membentang dari Mojokerto hingga perairan Probolinggo. “Kawasan yang jauh dari permukiman harusnya menjadi prioritas jika hendak melakukan pengeboran baru,” kata Ony dalam rilisnya, Jumat (8/1/2016).
Pertimbangan lainnya, lanjut Ony, hingga saat ini tidak ada satupun mekanisme yang dapat memastikan aset-aset sosial rakyat dan lingkungannya aman atau dipastikan bisa segera dipulihkan jika terjadi bencana akibat kecelakaan migas. Bahkan, belum ada satupun pihak yang diseret ke pengadilan akibat kecelakaan migas yang menyebabkan korban di pihak rakyat.
Lebih lanjut Rere Christanto, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Jatim, membeberkan, status keselamatan ruang hidup rakyat nampaknya masih belum menjadi pilihan bagi pemegang kebijakan dan kuasa modal. Ia mengingatkan, tahun 2016 merupakan tahun kesepuluh tragedi industri migas yang kita kenal sebagai Lumpur Lapindo.
Pada tanggal 29 Mei 2006 yang lalu, di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, eksplorasi migas di tengah perkampungan padat penduduk berubah menjadi petaka. Semburan lumpur Lapindo mengubur wilayah seluas lebih dari 800 hektar di tiga kecamatan: Porong, Tanggulangin dan Jabon. Lumpur Lapindo menghancurkan kehidupan masyarakat di lebih dari 15 desa dan lebih dari 75 ribu jiwa terusir dari kampung halamannya.
“Tragedi Lumpur Lapindo rupanya tidak pernah menjadi pelajaran,” ujar Rere.
Ia juga menyebutkan, laporan BPK RI serta sejumlah terbitan ilmiah oleh ahli dari berbagai negara telah mengindikasikan bahwa aktivitas pengeboran PT Lapindo Brantas bertanggung jawab terhadap munculnya semburan lumpur Lapindo. Hasil pemeriksaan BPK saat itu menunjukkan bahwa PT Lapindo Brantas menggunakan peralatan yang kurang memenuhi standar dan personel yang kurang berpengalaman.
Neal Adams Services pada tahun 2006 juga melakukan penelitian atas data-data terkait semburan lumpur Lapindo dan menemukan 16 faktor kesalahan yang menyebabkan terjadinya lumpur Lapindo. Di antaranya, kurang kompetennya site supervisor Lapindo, tidak memahami baik prosedur perencanaan sumur bor, gagal menginterpretasikan data seismik, gagal mengetahui keberadaan rekahan dan tidak mampu memilih site pengeboran yang aman dari pengaruh rekahan (fault).
“Laporan Neal Adams Services bahkan menyatakan bahwa tindakan Lapindo Brantas dalam mengatasi masalah teknis pada sumur BJP-1 mengarah pada tindakan kriminal yang membahayakan manusia dan lingkungannya,” ujar Rere mengutip laporan Neal Adams.
Hingga saat ini, lanjutnya, pertambangan migas di kawasan padat huni adalah problem besar praktik pertambangan di Indonesia. Di Jawa Timur, praktik pertambangan di kawasan padat huni bukan sekali saja menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat di sekitarnya.
Selain semburan lumpur Lapindo yang nampak jelas jejak penghancurannya, kasus-kasus lain seperti ledakan sumur migas Sukowati 5 di Bojonegoro yang mengakibatkan sedikitnya 148 orang dirawat di rumah sakit dan ribuan lainnya mengungsi adalah bukti nyata ketidakpedulian pemerintah terhadap status keselamatan rakyat.
“Pemerintah seharusnya memikirkan mekanisme perlindungan warga di wilayah industri padat huni. Itulah mengapa rencana aktivitas pengeboran kembali Lapindo layak ditolak,” katanya tegas.
Penulis: HI/G17