Malang (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur melansir catatan kerusakan ekologis selama tahun 2016. Setidaknya ada 127 kasus sosial ekologis yang dicatat oleh lembaga ini di Jawa Timur. Penyebabnya adalah regulasi yang lebih condong berpihak kepada kepentingan investasi, bahkan malah mengancam keselamatan lingkungan. Dan penyebab lainnya adalah tiadanya perlindungan terhadap masyarakat yang sedang berjuang menyelamatkan lingkungan.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Timur, Rere Christanto, menyampaikan, dorongan investasi industri ekstraktif maupun pembangunan infrastruktur menjadi penanda utama mengapa regulasi yang dikeluarkan pemerintah masih tidak memberi harapan terhadap perbaikan situasi lingkungan.
Sepanjang 2016, Walhi Jawa Timur menemukan berbagai regulasi baik dari tingkat nasional hingga tingkat daerah yang bisa dianggap sebagai ancaman terhadap ekologi Jawa Timur. “Setidaknya ada 69 regulasi yang dikategorikan sebagai ancaman terhadap keselamatan ekologi dengan rincian 35 regulasi tingkat pusat, 3 regulasi tingkat provinsi, dan 31 regulasi tingkat daerah,” kata Rere Christanto dalam rilisnya, Rabu (11/01/2017).
BACA JUGA: Penanganan Perubahan Iklim Belum Libatkan Masyarakat Hukum Adat
Ia menyebut, salah satu regulasi di tingkat pusat yang menjadi masalah penyelamatan lingkungan adalah RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional). RPJMN masih menjadi kepanjangan dari MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia) yang membuka ruang besar-besaran terhadap investasi untuk masuk dan mengeksploitasi ruang hidup rakyat. Di sisi lain, kata Rere, regulasi daerah semacam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) juga melebarkan kepentingan pencaplokan wilayah.
Pencaplokan wilayah kelola rakyat ini, lanjutnya, bisa dilihat dari luasnya lahan usaha pertambangan baik migas maupun mineral di Jawa Timur. Di sektor migas setidaknya tercatat 63 Wilayah Kerja Pertambangan dengan pembagian 31 Wilayah Kerja Pertambangan dengan status eksploitasi atau KKKS (Kontraktor Kontrak Kerjasama), dan 32 Wilayah Kerja Pertambangan yang sedang dalam status eksplorasi.
Sementara di sektor pertambangan mineral, data yang dihimpun Walhi melalui Korsup KPK (Koordinasi-Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk Pertambangan Mineral dan Batubara menunjukkan bahwa, per 29 Agustus 2016, jumlah IUP di Jawa Timur mengalami penurunan bila dibanding data Kementerian ESDM di tahun 2012, yaitu dari 378 IUP di tahun 2012 menjadi 347 IUP di tahun 2016.
BACA JUGA: Ratifikasi Perjanjian Paris Diminta Sejalan dengan Komitmen Penurunan Emisi
Meski menurun, ternyata terdapat peningkatan signifikan terhadap luasan lahan pertambangan. Jika di tahun 2012 luas lahan pertambangan di Jawa Timur hanya 86.904 hektare, pada tahun 2016 tercatat luasan lahan pertambangan di Jawa Timur mencapai 551.649 hektare. “Dengan mengacu angka dalam dua dokumen ini maka kenaikan jumlah lahan pertambangan di Jawa Timur mencapai 535% hanya dalam jangka waktu 4 tahun saja,” kata Rere.
Menurut Rere, dampak dari perluasan lahan pertambangan di Jawa Timur ini mendorong meningkatnya konflik sosial ekologis. Di pesisir selatan Jawa Timur yang diproyeksikan menjadi sentra investasi pertambangan, sepanjang 2015 hingga 2016 konflik berbasis kasus pertambangan terus mengemuka.
Diantaranya, pada 26 September 2015 lalu, 2 orang aktivis tolak tambang pasir di desa Selok Awar Awar, Lumajang dibantai dan dianiaya sehingga menyebabkan satu orang bernama Salim Kancil meninggal dunia dan rekannya Tosan terluka parah. Kemudian pada 2 November 2015, truk yang diduga pengangkut pasir besi dihadang massa dan dibakar di Paseban, Jember. Dan yang paling akhir, pada 26 November 2015, massa yang memprotes penambangan emas di Tumpang Pitu menghadapi kekerasan aparat yang membubarkan aksi mereka dengan tembakan yang menyebabkan setidaknya empat orang terluka.
Penulis: HI/G17