Malang (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur mempertanyakan komitmen para calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur terkait masalah penurunan kualitas air di provinsi ini. Walhi menilai, hingga kurang dua bulan masa pencoblosan, belum satupun pasangan calon yang maju dalam pilkada yang menyuarakan pemulihan lingkungan khususnya masalah kualitas sumber daya air di Jawa Timur.
Data Walhi Jatim menyebutkan, penurunan kualitas air di Jawa Timur setiap tahun terus menurun sehingga memengaruhi beragam sektor terutama pertanian. Pasalnya, Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dengan jumlah penduduk terpadat dan lumbung produksi padi nasional. “Ketergantungan Provinsi Jawa Timur terhadap kualitas air yang baik adalah mutlak,” kata Rere Christanto, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jatim, dalam rilisnya, Kamis (22/3/2018).
Laporan Indeks Kualitas Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur di tahun 2016 disebutkan bahwa, indeks kualitas air di Jawa Timur tahun 2015 tercatat pada angka 52,51 menurun menjadi 50,75 pada tahun 2016, atau berada pada status Sangat Kurang. Indeks kualitas air di wilayah sungai strategis nasional yaitu wilayah Sungai Brantas yang pada tahun 2015 tercatat sebesar 49,17 pada tahun 2016 turun menjadi 47,68. Sedangan kualitas di wilayah sungai Bengawan Solo sebesar 48,75. Kedua sungai strategis nasional ini berada dalam kondisi Waspada.
BACA JUGA: Kepentingan Pendanaan Pilkada Berpotensi Memperburuk Krisis Sosial Ekologis
Sedangkan berdasarkan hasil pemantauan kualitas air terpadu yang dilakukan oleh BLH Provinsi Jawa Timur, Perum Jasa Tirta, Dinas Pengairan Provinsi Jawa Timur maupun BLH Kabupaten/Kota, kondisi eksisting kualitas air sungai di Jawa Timur menunjukan konsentrasi Biological Oxygen Demand (BOD) sebesar 87,4 %, total Coli sebesar 49 %, Coli tinja 55,98 %, Chemical Oxygen Demand (COD) sebesar 7,2% dan Total Suspended Solid (TSS) sebesar 65% di lokasi pantau cenderung jauh melebihi baku mutu kualitas air sungai kelas II.
Walhi menilai, penurunan kualitas air di Jawa Timur ini merupakan sebab langsung dari krisis lingkungan hidup yang terjadi, baik di wilayah hulu maupun hilirnya. Di kawasan hulu seperti di Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu) misalnya, data Walhi menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan di wilayah ini telah sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Konfigurasi titik mata air dan kebutuhan mata air di Malang Raya menunjukkan kecenderungan kritis.
Kabupaten Malang misalnya, memiliki 873 sumber air dengan debit airnya bervariatif antara 1 liter per detik – 4 ribu liter per detik, di tahun 2008 tercatat sepertiga dari sumber air yang ada mengalami penurunan debit air. Sementara itu, untuk keberadaan sumber mata air di kota Batu, dari sebelumnya tercatat ada 111 titik kini telah mengalami kemerosotan. Dari 57 titik sumber air yang berada di Kecamatan Bumiaji, saat ini tinggal 28 titik. Sedangkan di Kecamatan Batu, dari 32 sumber air, kini tinggal 15 titik. Sementara itu sumber air di Kecamatan Junrejo, dari 22 titik sumber mata air, kini tersisa 15 titik.
BACA JUGA: Walhi Jatim: Regulasi Masih Menjadi Ancaman Keselamatan Lingkungan
Kerusakan wilayah tangkapan air seperti hutan dan wilayah lindung lainnya yang disebabkan besarnya alih fungsi kawasan baik sebagai pemukiman maupun investasi sektor pariwisata (wahana wisata, hotel, villa, dan lainnya) ditengarai sebagai penyebab utama kerusakan sumber daya air di wilayah hulu. Saat ini, lebih dari 800.000 ribu hektar kawasan hutan di Jawa Timur telah mengalami kerusakan (250.638 ha di DAS Brantas, 286.102,12 ha di DAS Sampean, 270.296,79 ha di DAS Bengawan Solo). Sehingga, langkah pemulihan kualitas air di Jawa Timur tidak bisa dianggap berdiri sendiri.
Demikian pula sektor industri di kawasan hilir. Situs Pusdaling Badan Lingkungan Hidup Jawa timur menyebutkan ada 1.004 industri yang berpotensi mencemari lingkungan di seluruh Jawa Timur, dari angka tersebut setidaknya 483 industri bercokol di sepanjang aliran DAS Brantas. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum masih menjadi momok berkepanjangan usaha pemulihan kualitas air di Provinsi Jawa Timur. IKPLHD Jawa Timur Tahun 2016 menyebutkan beban limbah cair untuk parameter BOD mencapai 5.588 ton/tahun, COD 14.541 ton/tahun, TSS mencapai 1493 ton/tahun dan ML 21,1 ton/tahun dan Amonia 98,73 ton/tahun.
Angka ini masih jauh dari angka aktual karena IKPLHD 2016 hanya memasukkan angka beban pencemaran dari 85 industri peserta PROPER yang tercatat oleh BLH Jawa Timur. Padahal derajat pecemaran sungai di Jawa Timur terus menerus semakin menunjukkan situasi yang mengkhawatirkan. Hasil laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tentang Status Mutu Air tahun 2013-2015 juga menunjukkan bahwa seluruh sungai yang ada di Jawa Timur ada pada status cemar berat. Hal ini semakin menegaskan situasi kegentingan yang luar biasa pada kualitas air di Provinsi Jawa Timur.
Gambaran situasi krisis sumber daya air di Jawa Timur diatas harusnya menjadi pemantik bagi para calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur untuk memrioritaskan program perlindungan dan pemulihan air. “Bagaimanapun juga air adalah kebutuhan utama kehidupan masyarakat. Tanpa kualitas air yang baik, maka tidak mungkin kita bisa membayangkan menata pembangunan di seluruh Jawa Timur menjadi lebih baik,” ujar Rere.
Aksi Hari Air di Hulu Brantas
Di kawasan hulu DAS Brantas, tepatnya di Kota Batu, Jawa Timur, belasan pemuda yang mengatasnamakan Aliansi Pemuda Kota Batu menggelar peringatan Hari Air Sedunia dengan aksi ke pusat pemerintahan di kota wisata ini. Mereka mengkritisi beberapa kebijakan Pemerintah Kota Batu yang dinilai tidak mendukung terhadap kelestarian alam dan perbaikan lingkungan.
Juru bicara aksi, Pradipta Indra Ariono, menyampaikan bahwa beberapa kebijakan yang disampaikan para pemuda Kota Batu di antaranya adalah rencana perubahan Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batu Tahun 2010 – 2030.
Menurutnya, dalam dokumen perencanaan yang disosialisasikan beberapa waktu lalu terdapat beberapa poin yang mengancam kelestarian sumber mata air di Kota Batu sebagai hulu DAS Brantas. “Hulu DAS Brantas terancam kehilangan mata air,” kata Pradipta.
Dalam dokumen perencanaan itu, kata Pradipta, juga terdapat perubahan luasan penggunaan lahan untuk kawasan perumahan, perdagangan/jasa, perkantoran, industri dan pariwisata yang bertambah sebesar 1.060.87 ha. Sedangkan lahan untuk kawasan tanaman pangan dan holtikultura justru berkurang sebesar 1.682.64 ha.
Aliansi menuntut pemerintah agar mensosialisasikan rencana revisi Perda RTRW kepada masyarakat agar bisa berpartisipasi aktif memberikan saran dan kritikannya. Aliansi juga khawatir jika revisi Perda RTRW akan mengancam kelestarian lingkungan di Kota Batu karena mementingkan investor untuk pembangunan.
Penulis: HI/G17