Malang (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur mengajukan gugatan sengketa informasi publik ke Komisi Informasi Publik (KIP) Jawa Timur. Pengajuan ini terkait perizinan pertambangan pasir besi di wilayah Pantai Wonogoro, Kecamatan Gedangan, Malang, Jawa Timur, yang berada di kawasan lindung.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Ony Mahardika menyatakan, kawasan pertambangan pasir besi ini berada di dalam zona konservasi dan kawasan lindung dalam bentuk sempadan pantai dengan kriteria perlindungan terumbu karang. Pengajuan sengketa informasi ini untuk mengetahui lebih jauh bagaimana status perijinan pertambangan pasir besi di wilayah itu.
“Pertambangan ini diduga berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem pantai dan terumbu karang,” kata Ony Mahardika, Jumat (27/2/2015).
Kerusakan ekosistem pantai dan terumbu karang, tambahnya, juga dapat memengaruhi keberlanjutan lingkungan hidup dan kehidupan sosial masyarakat di sekitarnya.
Lebih lanjut Ony menjelaskan, pengajuan sengketa ini lantaran permohonan informasi yang diajukan Walhi Jatim pada tanggal 27 Oktober 2014 lalu kepada Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Malang tentang dokumen Analis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Ijin Lingkungan dalam kegiatan usaha tambang pasir besi di wilayah Pantai Wonogoro, Desa Tumpakrejo, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang tidak mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
Kopi dokumen lingkungan dan izin lingkungan tidak diberikan oleh BLH Malang dan hanya dijawab dengan pernyataan bahwa usaha pertambangan di Pantai Wonogoro telah memiliki dokumen lingkungan dalam bentuk UKL/UPL namun tanpa memberikan kopi dokumen yang dimaksud.
Selanjutnya, kata Ony, Walhi Jatim telah mengirimkan surat keberatan terhadap pimpinan Pejabat Pengelola Informasi Dokumentasi (PPID) yang bersangkutan, namun hingga 30 hari setelah menerima surat keberatan, pimpinan PPID tidak merespon surat yang diajukan.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Timur, Rere Christanto menambahkan, aktivitas pertambangan yang tidak mengindahkan keselamatan lingkungan telah lama menjadi momok mengerikan bagi kelestarian kehidupan di berbagai wilayah.
Data Walhi Jatim mencatat sejak awal 2014 hingga sekarang, telah ada sedikitnya 139 kejadian bencana ekologis di seluruh Jawa Timur. “Jumlah ini meningkat dari catatan tahun sebelumnya yang hanya mencatat 124 kejadian bencana ekologis,” ujar Rere.
Menurutnya, bencana ekologis merupakan akumulasi krisis ekologis yang disebabkan ketidakadilan lingkungan dan gagalnya sistem pengurusan alam. Banjir, tanah longsor, abrasi, dan kekeringan yang diakibatkan kerusakan lingkungan karena aktivitas manusia adalah bentuk-bentuk bencana ekologis yang mengancam kehidupan. Dalam hal ini, bencana ekologis menunjukkan bahwa pemerintah seringkali gagal mematuhi regulasinya sendiri yang menyebabkan rusaknya fungsi-fungsi ekosistem.
Rere menegaskan, berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dan Perda Nomor 3 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Malang, jelas dinyatakan bahwa Kawasan Pantai Wonogoro adalah kawasan lindung dan karenanya tidak diperbolehkan diperuntukkan bagi aktivitas pertambangan.
“Ketertutupan BLH Kabupaten Malang tentang dokumen lingkungan dan izin lingkungan aktivitas pertambangan di Pantai Wonorogo layak dipertanyakan,” katanya.
Menurutnya, pembiaran pelanggaran perizinan terhadap wilayah yang mempunyai nilai penting secara ekologis tidak bisa dibiarkan karena konsekuensinya jelas, semakin banyak wilayah-wilayah lindung yang rusak berakibat peningkatan jumlah bencana ekologis setiap tahunnya di Jawa Timur.
Karenanya, kebutuhan membuka informasi publik terkait status perizinan tambang di wilayah Pantai Wonogoro menjadi penting untuk diungkap untuk mengetahui sejauh mana komitmen pemerintah terhadap kelestarian lingkungan hidup di wilayahnya.
(G17)