Jakarta (Greeners) – Di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, Presiden Joko Widodo mengajak para pemimpin negara kunjungi dan tanam benih mangrove. Diplomasi mangrove ini menunjukkan komitmen Indonesia dalam melawan perubahan iklim.
Dalam kesempatan itu, Presiden Joko Widodo menyatakan sebagai negara dengan hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,3 juta hektare (ha) Indonesia ingin berkontribusi kepada perubahan iklim dunia.
Mangrove dikenal mampu menyerap karbon, memproteksi daratan dari erosi, menjadi hunian biota laut, dan mencegah abrasi laut. Oleh karenanya, acara penanaman mangrove bersama ini sebagai bentuk komitmen bersama untuk mengatasi perubahan iklim global. Hal ini sesuai dengan tema G20 Recover Together, Recover Stronger.
Kemudian Leaders’ Declaration dari hasil KTT G20 juga memuat upaya untuk melindungi ekosistem hutan, lamun, terumbu karang. Selain itu juga ekosistem lahan basah dengan segala keanekaragamannya, termasuk lahan gambut dan mangrove. Tujuannya mendukung upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Menanggapi hal itu, Manajer kampanye pesisir dan laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin yang juga mengikuti gelaran COP27 menyatakan, terdapat tiga negara yakni Indonesia, Brasil dan Republic Democratic Congo dianggap merepresentasikan 52 persen hutan dunia.
Menariknya, saat menggali potensi hutan dunia, Indonesia memasukkan mangrove, padang lamun, serta ekosistem pesisir lain dalam negosiasi tersebut.
“Ini menunjukkan mangrove punya posisi penting dalam negosiasi iklim dunia. Bahkan saya dengar beberapa Negara Timur Tengah tertarik terlibat rehabilitasi mangrove,” katanya kepada Greeners, Jumat (18/11).
Jangan Sebatas Gimmick di G20
Permasalahannya, aksi tanam mangrove Presiden Joko Widodo lakukan dalam G20 jangan sampai sebatas gimmick. “Artinya kalau presiden mau serius “menjual” mangrove ke negara lain maka harus serius dalam merehabilitasi mangrove, terutama masalah evaluasi regulasinya,” kata dia.
Saat ini pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Adapun dalam pasal 5 UU Cipta Kerja mengatur tentang panas bumi melegalkan tambang panas bumi di wilayah perairan. Itu artinya, melegalkan pengrusakan mangrove untuk agenda seperti proyek strategis nasional.
Demikian pada pasal 28 A UU Minerba yang menyatakan bahwa wilayah hukum pertambangan adalah seluruh ruang darat, laut, dan ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah Indonesia.
“Ini perlu dievaluasi dan dicabut karena akan mempercepat kerusakan mangrove,” imbuhnya.
Parid menyebut, rehabilitasi mangrove yang pemerintah dorong bertabrakan dengan rencana pemerintah sendiri, misalnya dalam melanjutkan proyek reklamasi di berbagai wilayah di Indonesia.
Berdasarkan catatan Walhi tahun 2022, proyek reklamasi di Indonesia yang eksisting seluas 79.348 ha dan akan terus dibangun seluas 2,6 juta ha.
Luasan tersebut berdasarkan data yang tercatat dalam dokumen Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di 22 provinsi di Indonesia.
“Hutan mangrove di berbagai wilayah pesisir di Indonesia hancur dan rusak oleh proyek reklamasi,” ucapnya.
Sementara mengacu data statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2020, total luasan hutan mangrove tercatat seluas 2,51 juta ha. “Data ini menggambarkan kondisi mangrove di Indonesia dalam kondisi yang tidak baik-baik saja,” tegasnya.
Target Rehabilitasi Mangrove
Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) pada Januari 2022 menyebut, capaian tahun pertama di 2021 hanya tercatat seluas 29.500 ha di sembilan provinsi yang menjadi lokasi prioritas. Kemudian 3500 ha di lokasi tambahan (23 provinsi).
Itu artinya, total luasan pada tahun 2021 tercatat hanya 33.000 ha mangrove yang baru direhabilitasi.
“Luasan ini baru 5,5 persen keseluruhan target rehabilitasi mangrove sampai dengan tahun 2024. Itu sangat kecil. Butuh akselerasi 5 kali lipat untuk mencapai target ambisius tersebut. Apalagi luasan mangrove yang baik hanya 788.496 ha,” tandasnya.
Parid mendesak pemerintah untuk berani merevisi sejumlah peraturan perundangan yang menghambat rehabilitasi mangrove.
Di samping itu, butuh keterlibatan semua elemen, termasuk seluruh kementerian terkait dan masyarakat setempat sebagai “aktor” utama di balik penjagaan keberlanjutan mangrove.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin