Jakarta (Greeners) – Hutan mangrove di Indonesia kini dalam kondisi kritis. Dalam tiga dekade terakhir, lebih dari 50% hutan mangrove di Indonesia hilang. Sebagian besar hilang akibat konversi lahan untuk budidaya perikanan dan pembangunan. Hal ini juga menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kerusakan hutan mangrove tercepat di dunia.
Menurut Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), hilangnya jutaan hektar mangrove bukanlah disebabkan oleh ekspansi tambak udang, melainkan massifnya pembangunan ekstraktif dan eksploitatif.
Padahal, Indonesia sebelumnya dikenal sebagai negara dengan lahan mangrove terbesar di dunia yang memiliki hutan mangrove seluas 3,556 juta ha (KLHK, 2019). Namun, kini 33,55 persen atau 1,193 juta lahan mangrove di Indonesia dalam kondisi kritis.
Menurut data Mangrove Ecosystem Restoration Alliance atau Aliansi Restorasi Ekosistem Mangrove (MERA), di Jakarta sendiri kini hanya tersisa sekitar 300 hektar hutan mangrove, yang berada di kawasan Angke Kapuk, Jakarta Utara.
BACA JUGA: WALHI: Tahun 2019 Eksploitasi SDA Makin Bertambah
Sebanyak 25 hektar dari jumlah diatas berada di dalam area Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA), dimana Program MERA bekerja di wilayah ini dan telah dilakukan 80 persen kajian awal.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, menyampaikan bahwa pembangunan proyek properti dan industri seperti reklamasi, pertambangan, PLTU, pembangunan resort, dan industri tambak digadang menjadi penyebab tergerusnya kawasan mangrove.
“Luasan hutan mangrove pada tahun 2014 tercatat seluas 4,4 juta hektar. Namun, pada tahun 2017, luasannya hanya tersisa 3,5 juta hektar,” tutur Susan saat bedah buku “Mangrove: Dinamika dan Dampak Ekologi Masyarakat Pesisir” pada Kamis (18/07/2019) di Ke Kini, Cikini, Jakarta Pusat.
Susan mengatakan, pada 2019, KIARA mencatat terdapat sekitar 6.829 desa pesisir yang memiliki pendapatan ekonomi dari praktik pemanfataan dan pengelolaan kawasan hutan mangrove. Dengan kata lain, kawasan hutan mangrove memiliki peran penting dan signifikan dalam mempengaruhi sosio-ekonomi masyarakat pesisir
Sementara itu, Direktur Eksekutif WALHI, Nur Hidayati mengatakan sebagai poros maritim dunia, pembangunan proyek-proyek eksploitatif ini membunuh kawasan pesisir. Indonesia sebagai negara yang rentan terhadap bencana harus kehilangan sabuk pengamannya yakni ekosistem mangrove.
.BACA JUGA: Greeners Jalin Kerja Sama Penanaman Mangrove dengan Kemangteer
“Upaya kebencanaan, livelihood (mata pencaharian, red.), dan kesehatan ekosistem sendiri sangat diuntungkan jika mangrove bisa dilestarikan,” ujarnya.
Diketahui bahwa, keberadaan hutan mangrove sangat penting dalam konteks mitigasi bencana. Dalam dua tahun terakhir, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah kejadian bencana bencana tsunami sejak tahun 2010-2018 sebanyak 37 kali. Dengan 37 kali bencana tsunami ini, tak sedikit korban nyawa yang tidak bisa diselamatkan akibat tak adanya sistem mitigasi bencana yang baik.
“Dalam konteks inilah, keberadaan hutan mangrove menjadi sangat penting sebagai pelindung alami masyarakat dari ancaman bencana tsunami yang bisa datang kapan saja. Berbagai fakta di lapangan membuktikan, mangrove terbukti lebih baik daripada tanggul laut yang terbukti gagal,” pungkas Yaya.
Penulis: Dewi Purningsih