Jakarta (Greeners) – Tim hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat melakukan analisis yang menunjukkan indikasi tindak korupsi pada dua belas perusahaan tambang batubara di Sawahlunto. Dua belas perusahaan tersebut memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Sawahlunto melalui Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi (Perindagkop), namun perusahaan-perusahaan tersebut diduga tidak menaati ketentuan Pasal 128 UU Miberba dengan tidak membayar royalti dan land rent sesuai jumlah yang ditentukan.
Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Barat Uslaini, mengatakan, total produksi batubara di Sawahlunto sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2015 adalah 1.588.804,15 ton. Seharusnya, dengan harga 632.000/ton, negara menerima Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa royalti sebesar Rp 60.247.453.368. Namun PNBP yang diterima pada sektor ini hanya Rp 24.247.453.368.
Selain itu, total luas Ijin Usaha Pertambangan (IUP) adalah 4.115, 78 ha. Dengan asumsi rata-rata 11.000 dollar, maka setidaknya PNBP yang seharusnya diterima negara selama lima tahun terakhir adalah Rp 641.674.000, namun yang diterima hanya Rp. 24.574.000. Potensi kerugian negara dari praktek korupsi jamaah pengusaha dan pemerintah daerah ini, katanya, diduga mencapai Rp 57.000.000.000 dari royalti, Rp 617.100.000 dari land rent (iuran tetap), dan kerugian di sektor PNBP akibat tidak dipenuhinya ketentuan Izin Pinjam Pakai Kehutanan (IPPKH) setidaknya senilai Rp 95.416.265.707.
“Total dugaan kerugiaan negara adalah 152.477.957.707 rupiah,” jelas Uslaini, Jakarta, Rabu (22/06).
BACA JUGA: 721 Izin Pertambangan Bermasalah Dicabut
Di Kota Sawahlunto, katanya, terdapat 12 IUP Batubara, dan hanya 2 perusahaan saja yang memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Walhi, lanjutnya, melihat ada indikasi korupsi yang terjadi di sana, tetapi aparatur negara membiarkan semua pelanggaran ini terjadi bertahun-tahun.
“Ini harus dihentikan. Perlu segera dilakukan pemeriksaan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sehingga potensi kerugian negara bisa dikurangi,” tambahnya.
Edo Rahman, dari Eksekutif Nasional WALHI juga menyatakan, kasus dugaan korupsi 12 tambang batubara di Sawahlunto memperjelas potret korupsi sektor tambang di Indonesia. Kerugian negara dari sektor tambang terjadi di multilevel kehidupan, dimulai dari potensi pendapatan, penjarahan sumber daya alam kayu, degradasi multilevel value ekonomi komunitas, hingga beban negara dalam pemulihan lingkungan hidup.
“Selain upaya pencegahan oleh KPK selama ini, proses penegakan hukum tipikor sangatlah penting untuk dilakukan di setiap provinsi untuk menghentikan kejahatan berjamaah pengusaha dan pejabat penyelenggara negara,” tutupnya.
BACA JUGA: Reformasi Sektor ESDM, Kementerian ESDM dan KPK Tingkatkan Koordinasi dan Supervisi
Sebagai informasi, Walhi melaporkan dugaan korupsi tambang batubara oleh 12 Perusahaan di Sawahlunto ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Inisial ke-12 perusahaan tambang batubara tersebut adalah CV. D, CV. K, CV. M, CV. T, PT. A, PT.A, PT. B, PT. B, PT.D, PT.G, PT. N dan PT. P.
Pendapatan negara yang dimaksud salah satunya adalah pendapatan negara bukan pajak (pasal 128 ayat 2), diantaranya berupa iuran tetap (land rent) dan iuran produksi (royalti) (pasal 128 ayat 4). Kemudian besaran PNBP menurut PP 9/2012 tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada kementerian ESDM untuk landrent adalah per ha x 4.00 USD dan untuk royalti dengan kalori (Kkal/kg) diatas 6.100 produksi per ton x 7.00 % untuk open pit dan 6 % underground.
Penulis: Danny Kosasih