Jakarta (Greeners) – Sejumlah kota dan kabupaten di Provinsi Gorontalo dilanda banjir dan tanah longsor. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Gorontalo menilai penyebab terjadinya bencana ini bukan akibat dari intensitas dan curah hujan yang tinggi, melainkan banyaknya alih fungsi lahan.
Pada 7 Juli 2024, terjadi banjir dan tanah longsor tiga kabupaten dan kota di Provinsi Gorontalo, yakni Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo, dan Kabupaten Bone Bolango. Namun, bencana ini bukan menjadi kali pertama melanda wilayah Gorontalo. Setiap kali masuk musim hujan dengan intensitas tinggi, hampir seluruh wilayah di Provinsi Gorontalo selalu terdampak.
Pada tahun 2022, misalnya, wilayah Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango tergenang banjir dengan total korban terdampak mencapai 3.409 orang. Kemudian, pada tahun 2016, Kabupaten Gorontalo Utara, Kabupaten Boalemo, dan Kabupaten Bone Bolango juga tergenang banjir. Total korban terdampak mencapai lebih dari 15.000 orang.
BACA JUGA: Walhi Aceh Desak Pemerintah Tuntaskan Permasalahan Lingkungan
Dinamisator Simpul WALHI Gorontalo, Defri mengatakan, bencana ekologis tahun ini menjadi bencana terparah dalam 10 tahun terakhir. Sayangnya, sikap pemerintah daerah dalam menghadapi bencana menahun ini sangat mengecewakan. Bagi Walhi, intensitas dan curah hujan selalu menjadi alasan pamungkas terjadinya banjir dan longsor.
“Padahal, intensitas dan curah hujan serta kondisi cuaca lainnya bukanlah satu-satunya penyebab dari banjir dan longsor secara menahun di Provinsi Gorontalo. Faktor lainnya yang paling penting untuk pemerintah soroti adalah alih fungsi lahan, pembangunan, dan penataan ruang yang ‘carut-marut’,” ungkap Defri dalam keterangan tertulis.
Gorontalo Alami Deforestasi
Pada kasus banjir bandang ini, lanjut Defri, pemerintah tidak memperhatikan deforestasi akibat pembukaan lahan pertanian monokultur jagung, perkebunan sawit, atau bentuk alih fungsi lahan lainnya secara besar-besaran.
Data dari Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan, pada kurun waktu 2017–2021 Provinsi Gorontalo mengalami deforestasi akibat konsesi perusahaan tambang dan perkebunan seluas 33.492,76 hektare.
“Tak luput juga masalah tata ruang perkotaan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan hidup dan kesesuaian lahan seperti drainase yang jauh dari standar, pemukiman di area rawan bencana, dan hilangnya area tangkapan air akibat pembangunan,” tambah Defri.
Bahkan, pemerintah tutup mata dengan aktivitas ekstraktif oleh PT Gorontalo Minerals pada kawasan hutan seluas 24.996 hektare. Bisnis ekstraktif itu berpotensi menghancurkan ekosistem hutan dan sumber-sumber kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Pada kasus longsor yang menyebabkan jatuhnya banyak korban, itu terjadi karena aktivitas pertambangan rakyat. Bisnis pertambangan yang secara masif ini menyebabkan kerusakan lingkungan sejak tahun 1992.
BACA JUGA: Alih Fungsi Lahan Perparah Banjir di Jawa Tengah
Kasus ini bukan kali pertama terjadi. Dua tahun setelah tambang rakyat beroperasi pada 1994, bencana longsor pun terjadi di Gorontalo. Meskipun tidak ada korban, namun hal ini menyebabkan banjir dan lumpur dari titik-titik bor terbawa sampai ke pemukiman warga.
“Selanjutnya, berturut-turut banjir dan longsor terjadi pada tahun 1994, 2002, 2020. Namun, paling menyayat hati terjadi pada tahun ini dengan menelan ratusan korban,” ujar Defri.
Walhi Gorontalo menduga hal ini terjadi karena pemerintah sengaja membiarkan masuknya investasi berbasis sumber daya alam lewat konsesi-konsesi perusahaan dan pertambangan rakyat ilegal dan tidak ramah lingkungan. Bahkan, tidak memiliki jaminan keselamatan kerja yang berlangsung cukup lama.
Pemerintah Lamban Merespons Bencana
Sementera itu, per 12 Juli 2024 Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mengidentifikasi korban terdampak banjir mencapai 36.100 jiwa. Jumlah ini di luar dari insiden longsor yang terjadi di wilayah pertambangan rakyat di Suwawa Timur, yakni 325 orang dengan rincian 283 orang selamat, 27 orang meninggal dunia, dan 15 orang belum ditemukan.
Sayangnya, lanjut Defri, satu minggu pascabencana, pada 14 Juli 2024 pemerintah baru mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 267/32/VII/2024 tentang Penetapan Status Tanggap Darurat Bencana Banjir, Banjir Bandang, dan Tanah Longsor. Namun, pada surat tersebut tanggal yang tercantum 10 Juli 2024.
“Artinya, pemerintah sebenarnya lamban dalam merespons situasi bencana yang terjadi,” ungkapnya.
Rekomendasi Walhi untuk Atasi Longsor dan Banjir Gorontalo
Walhi Gorontalo meminta pemerintah berhenti mengambinghitamkan hujan sebagai alasan penyebab banjir dan longsor yang terjadi di Provinsi Gorontalo.
“Pemerintah harus segera memitigasi dan adaptasi bencana secara menyeluruh untuk meminimalisasi risiko dan dampak bencana,” kata Defri.
Walhi juga meminta pemerintah untuk segera mencabut perizinan terhadap tambang dan perkebunan yang rakus ruang dan lahan. Lalu, melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan dan sumber daya alam yang dilakukan oleh perusahaan ekstraktif di Gorontalo.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia