Aceh (Greeners) – Memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2015, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh mengadakan aksi kampanye lingkungan di Bundaran Simpang 5 Banda Aceh. Kampanye tersebut diikuti oleh 35 orang aktivis yang terdiri dari Eksekutif WALHI Aceh dan Sahabat WALHI.
Koordinator Aksi, Ainul Mardhiah mengatakan bahwa aksi lingkungan ini dilakukan untuk memberikan informasi kepada publik tentang kasus-kasus besar lingkungan hidup yang terjadi di Aceh. Informasi dan fakta-fakta tersebut ditampilkan dalam spanduk sepanjang 15 meter dan berisi 15 daftar kasus lingkungan di Aceh. Ada pula spanduk foto berisi fakta kerusakan lingkungan hidup di Aceh.
“Persoalan lingkungan hidup dewasa ini sudah sangat mendesak untuk ditanggulangi. Kualitas lingkungan hidup semakin hari semakin memburuk. Selama 150 tahun, jumlah karbon yang ada di atmosfer telah meningkat 50%, dari 280 ppm menjadi 393 ppm. Dan dampaknya, khususnya abad terakhir, telah mencatat peningkatan suhu global, kehancuran glasier dan lapisan es, perluasan gurun dan berbagai peristiwa cuaca ekstrem,” papar Ainul seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Jakarta, Jumat (05/06/2015).
Dari beberapa kasus di Aceh, lanjut Ainul, tidak ada resolusi yang ditawarkan yang dapat menyelesaikan permasalahan kerusakan lingkungan. Aktor perusak lingkungan hidup tertinggi sendiri terutama adalah perusahaan di sektor pertambangan (penyebab 70% kerusakan lingkungan) dan perkebunan, disusul oleh pemerintah yang mengeluarkan izin konsesi pertambangan dan pengusahaan hutan yang semakin gila-gilaan sejak otonomi khusus di daerah.
“Pada momen Hari Lingkungan Hidup ini kami menuntut pemerintah pusat dan pemerintah Aceh agar segera menuntaskan proses hukum terhadap kasus-kasus kejahatan lingkungan hidup di Aceh,” tukasnya.
Berikut ini beberapa kasus lingkungan hidup yang dikutip dari data Walhi Aceh sampai dengan tahun 2015, antara lain:
1. Konflik lahan HGU perkebunan antara PT. Syaukat Sejahtera dengan warga di Alue Cereumen Dusun Bivak, Gampong Krueng Simpo, Kec. Juli, Kab. Bireuen, Aceh.
2. Konflik kepentingan (Pemerintah Aceh dengan warga) terhadap area 1.600 Ha eks HGU Perkebunan PT. Kalista Alam di Gampong Ladang Baro, Kec. Suka Makmur, Kab. Nagan Raya, Aceh.
3. Konflik lahan antara Persatuan Petani Kaki Gunung Leuser (PPK-GL) dengan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) di Kecamatan Ketambe, Lawe Alas, Tanoh Alas, dan Kec. Babul Makmur, Kab. Aceh Tenggara, Aceh.
4. Konflik lahan HGU perkebunan antara warga dengan PT. Kalista Alam dan PT. SPS di Gampong Kuala Seumayam, Kec. Darul Makmur, Kab. Nagan Raya, Aceh.
5. Konflik Satwa Liar dengan masyarakat, seperti konflik gajah di Kab. Aceh Tengah, Pidie Jaya dan Bireuen.
6. Reklamasi Rawa Trumon di Kabupaten Aceh Selatan.
7. Tukar Guling Kawasan Hutan Masyarakat untuk Perkebunan PT. BASS di Kab. Aceh Selatan, Aceh.
8. Pembangunan PT. Tripa Semen Aceh di Gampong Kaloy, Kec. Tamiang Hulu, Kab. Aceh Tamiang.
9. Pembangunan Pelabuhan Iboih tanpa dukungan dokumen Amdal di dalam kawasan hutan lindung Pulau Weh yang kerjakan oleh Badan Pengusaha Kawasan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang yang disingkat BPKS di Hutan Lindung Sabang,Pulau Weh, Kota Sabang, Aceh.
10. Pertambangan dalam hutan lindung dan pemakaian bahan merkuri dalam aktivitas pertambangan
11. Penumpukan sampah diatas ambang batas di TPA Gampong Jawa, Kec. Kutaraja, Kota Banda Aceh, Aceh.
Penulis: Danny Kosasih