Jakarta (Greeners) – Pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sama-sama menyatakan kepeduliannya terhadap isu lingkungan. Namun jika diperhatikan, keduanya memiliki pandangan yang berbeda dalam rencana pelaksanaannya seperti dijabarkan dalam visi-misi mereka.
“Prabowo nampaknya akan melanjutkan garis pembangunan dari pak SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), seperti MP3EI mau dilanjutkan dan sebagainya. Sedangkan Jokowi ingin menempuh garis baru, garis yang lebih menunjukan kehadiran pemerintah pada beberapa isu yang sekarang ini dianggap terlalu dibiarkan,” ujar Prof. Dr. Emil Salim saat dijumpai usai acara Diskusi Calon Presiden 2014, Graha Bimasena, Jakarta, pada Selasa (03/06).
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI telah ditetapkan tahun 2011 lalu dan pelaksanaanya akan berlangsung hingga tahun 2025 mendatang. Namun, menurut Emil, presiden mendatang tidak cukup hanya menjalankan MP3EI saja.
“Saya pribadi merasa itu perlu penyesuaian karena belum dilengkapi masterplan percepatan lingkungan. Jangan hanya masterplan percepatan ekonomi saja, sementara pembangunan menghendaki pertimbangan lingkungan dan sosial. Jadi, MP3EI saja itu terlalu timpang,” katanya.
Isu lingkungan-sosial seperti konflik lahan adat yang terus terjadi karena belum dilaksanakannya putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35 tahun 2012 tentang Hutan Adat, masalah asap serta kebakaran hutan, nampaknya menjadi isu lingkungan yang setiap tahun menjadi agenda namun nyaris tidak ada penyelesaian.
“Konflik sosial-lingkungan itu seolah-olah dibiarkan. Jokowi nampaknya ingin hadir dan menunjukan ‘pemerintah ingin menegakkan ini lho, maunya begini.’ Saya melihat ada nuansa kontinuitas pada pihak Prabowo, sedangkan nuansa perubahan pada Jokowi,” ujarnya.
Mantan Menteri Lingkungan yang sekarang aktif dalam Dewan Penasehat Presiden ini mengembalikan pilihan kepada masyarakat Indonesia. “Bangsa Indonesia itu maunya apa? Pemilu nanti akan menjadi tolok ukur, apakah masyarakat Indonesia menghendaki perubahan ataukah status quo? Ini yang penting,” katanya.
“Tiap jaman menunjukan semangat jamannya. Apakah kontinuitas ataukah perubahan, itu akan kentara pada hasil Pemilu nanti,” ujarnya mengakhiri pembicaraan.
(G08)