Jakarta (Greeners) – Aliansi Voices for Just Climate Action (VCA) menilai kelompok rentan perlu terlibat dalam pembahasan mitigasi perubahan iklim hingga pengambilan keputusan kebijakan iklim. Misalnya, dalam acara Conference of Parties ke-28 (COP 28) atau Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa. Acara tersebut akan berlangsung pada 30 November hingga 12 Desember 2023.
Terdapat beberapa inisiatif dari presidensi COP 28 untuk lebih banyak melibatkan kelompok rentan. Misalnya, dalam forum seperti The International youth Climate Delegate Program yang mensponsori 100 orang muda untuk mengikuti forum COP 28.
Namun, aliansi menyoroti suara untuk aksi iklim yang dipimpin secara lokal belum didengar. Selain itu, masih banyak tantangan untuk mendorong keterlibatan bermakna dari kelompok rentan. Sebagai contoh, hanya 35% partisipasi dari perempuan dalam delegasi pada COP 27.
BACA JUGA: 2023 Jadi Tahun Terpanas di Dunia, Stok Pangan Terancam
Keterlibatan perwakilan kelompok rentan juga masih terbatas. Terutama, yang tidak terwakili dalam kelompok konstituen seperti kelompok disabilitas dalam proses negosiasi iklim UN.
Country Engagement Manager Yayasan Humanis (Afiliasi Hivos), Arti Indallah mengatakan dari waktu ke waktu biaya yang harus dikeluarkan untuk menghadiri konferensi semakin meningkat. Misalnya, forum regional maupun CPO.
“Hal ini secara signifikan juga berkontribusi terhadap tersingkirnya keterlibatan CSO dan kelompok rentan. Mereka yang berada di garis depan perubahan iklim, untuk dapat berpartisipasi aktif dalam ruang pengambilan keputusan. Selain itu juga terbatasnya akses atau badge COP 28, yang dapat digunakan untuk pertemuan offline. Terutama untuk kelompok dari negara selatan berkurang secara signifikan,” ujar Indallah.
Perbincangan COP 28 akan Menjadi Titik Penting
Aliansi akan melihat perbincangan penting atau global stocktake (GST) yang pertama setelah Perjanjian Paris. Negara-negara akan mengevaluasi diri mereka sendiri dan kemajuan kolektif terhadap tujuan yang telah mereka tetapkan.
Indallah menambahkan, proses GST akan menjadi titik penting untuk refleksi dan mengambil tindakan akselerasi signifikan, terkait aksi iklim baik di tingkat global maupun di Indonesia.
BACA JUGA: Aksi Muda Jaga Iklim Kembali Bangun Semangat Atasi Krisis Iklim
“Berdasarkan laporan sintesis GST yang keluar pada September 2023, komunitas global menyadari implementasi dari Perjanjian Paris sangat jauh dari target. Itu menunjukkan kurangnya kemajuan negara-negara dalam mengurangi tingkat level emisi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim,” ucap Indallah.
Menurut dia, momen COP28 dan setelahnya perlu digunakan untuk menerjemahkan hasil teknis GST di regional dan konteks spesifik negara. Khususnya, dalam adaptasi dan pembangunan ketahanan iklim, melalui pemutakhiran dan peningkatan NDC serta kebijakan terkait iklim lainnya, dengan proses yang partisipatif.
Banyak Tantangan untuk Terlibat di Forum Perubahan Iklim
Petani Muda Perempuan Flores Timur, Maria Mone Soge mengatakan peningkatan ketahanan masyarakat melalui sumberdaya lokal sangat penting di tengah situasi iklim yang tidak menentu. Sehingga, kebijakan iklim harus mendukung petani, nelayan, perempuan, kelompok disabilitas, masyarakat adat, dan generasi muda di pedesaan.
“Banyak tantangan di forum-forum perubahan iklim seperti tantangan bahasa. Kemudian, dana yang cukup besar untuk travel dan partisipasi, penggunaan bahasa jargon yang cukup kompleks, serta berbagai akronim membatasi keterlibatan bermakna dari kelompok rentan,“ ujar Maria.
Menurut Maria, semestinya platform multi-pihak di berbagai tingkatan (nasional, regional, global) perlu memberikan ruang bagi masyarakat rentan untuk menyampaikan keprihatinannya. Lalu, mengembangkan solusi iklim yang tanggap terhadap kebutuhan lokal.
“Tentu saja, hal ini harus dibarengi dengan dukungan pendanaan serta peningkatan kapasitas bagi komunitas dan pemangku kepentingan di tingkat lokal,” tambah Maria.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia