Jakarta (Greeners) – Vaksin Merah Putih karya anak bangsa akan segera memasuki fase ujiklinis. Pihak industri pun sudah melirik untuk nantinya memproduksi massal vaksin ini. Sementara hal itu berjalan, muncul wacana pengembangan vaksin untuk menghadapi varian Omicron yang memiliki daya tular tinggi.
Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mewacanakan pengembangan vaksin untuk varian Omicron yang ada di Indonesia.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala PRBM Eijkman Wien Kusharyoto memastikan basis vaksin varian Omicron sama varian sebelumnya, yakni berbasis sub unit protein rekombinan.
Ia menambahkan, varian Omicron berisiko cukup tinggi mengingat penularannya yang sangat cepat. Omicron lebih mudah menular jika kita bandingkan dengan varian Delta karena kemampuannya dalam menghindari eliminasi oleh antibodi. Tak hanya itu, bahkan efektivitas vaksin relatif lebih rendah terhadap Omicron daripada varian Delta.
“Tingkat penularannya tinggi maka risikonya tinggi pula. Kami berencana mengantisipasi varian Omicron dengan desain baru,” katanya dalam diskusi virtual Talk to Scientist mengusung tema Riset Pengembangan Vaksin Covid-19 untuk Indonesia Pulih Bersama Bangkit Perkasa, di Jakarta, Rabu (26/1).
Lebih jauh Wien menyebut, penularan varian Omicron dan Delta pada orang yang belum mendapat vaksin mencapai 29 %. Namun, pada orang yang telah vaksinasi, penularan varian Omicron lebih tinggi 13 % dibanding varian Delta. Adapun pada varian Omicron sebesar 32 %, sedangkan varian Delta 19 %.
Kendati demikian, varian Omicron memungkinkan terjadi penurunan perawatan di IGD daripada varian Delta, yakni sebesar 74 %. Saat ini, pemerintah Indonesia menarjetkan penyuntikan vaksin penguat (booster) mengantisipasi varian Omicron.
Vaksin Merah Putih Masuk Hilirisasi Mitra Industri
Sementara untuk pengembangan vaksin Merah Putih Covid-19 untuk varian Delta hingga kini masih dalam hilirisasi dengan mitra industri, yakni PT Bio Farma. Vaksin buatan anak negeri ini telah masuk dalam daftar 194 kandidat negara dunia dalam tahap uji praklinik dan klinik.
Periset Laboratorium Terapeutik dan Vaksin, Andri Wardiana menyatakan, riset skala besar memiliki tantangan karena dari segi produk harus memastikan kualitasnya sama dengan skala laboratorium. Ekspansi ke pasar industri juga sangat berisiko mengingat ada perbedaan ukuran yang industri ambil. “Makanya kami melakukanya (produksi) secara bertahap, mulai dari hitungan besar kecilnya hingga nilai ekonominya dihitung jelas,” ungkap Andri.
Target pengembangan vaksin dalam negeri terus menerus para periset pacu. Plt Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati BRIN Iman Hidayat mengatakan, dibanding negara lain, Indonesia masih tertinggal jauh dalam pengembangan vaksin. Ini terlihat dari tahap uji klinik yang masih dilakukan. “Sudah dua tahun lebih kita masih dalam konteks baru atau mau memasuki uji klinik,” ujarnya.
Riset untuk Kemandirian Inovasi
Indonesia, sambung dia tidak cukup kompetitif untuk bisa bersaing dengan negara-negara lain di dunia. Salah satu indikatornya terlihat dalam budaya inovasi yang menurun. Berdasarkan Innovation Index, peringkat Indonesia masih rendah. “Jangankan di level dunia, di level Asia Tenggara saja kita hanya di atas Kamboja dan Laos,” imbuhnya.
Iman menyebut, terdapat setidaknya tiga hal permasalahan atau kendala yang menjadi penyebab utama kurang berkembangnya riset di Indonesia. Tiga kendala tersebut yakni peneliti Indonesia sama sekali belum memiliki pengembangan vaksin atau baru pertama kali mengembangkan vaksin. Kedua, kurangnya kolaborasi antara dengan industri serta ketiga kekurangan infrastruktur.
Salah satu upaya yang pemerintah lakukan yakni dengan memastikan integrasi lembaga riset dan unit penelitian yang ada di kementerian dalam BRIN. Oleh sebab itu BRIN berharap ke depannya semoga mampu memastikan dan memfasilitasi riset-riset terkait Covid-19. “Tentu ini akan menjadi titik awal solusi bagaimana kita sebagai negara yang inovasinya rendah bisa bangkit,” tegasnya.
Penulis : Ramadani Wahyu