nersJakarta (Greeners) – Vonis Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur yang dijatuhkan pada Nenek Asiani (63) karena tuduhan mencuri 38 papan kayu milik Perhutani di Dusun Kristal, Desa Jatibanteng, Situbondo, Jawa Timur beberapa waktu lalu kembali mengusik rasa keadilan masyarakat.
Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Muhnur Satyahaprabu menerangkan, sejak Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) diterbitkan, Koalisi Anti Mafia Hutan mencatat telah ada 53 warga termasuk dengan kasus Nenek Asiani yang menjadi pesakitan di pengadilan. Selain itu, 43 diantaranya telah diputus bersalah dengan rata-rata hukuman 18 bulan penjara.
Muhnur mengatakan, jika dilihat dari latar belakang profesi para terpidana tersebut, semuanya merupakan individu yang terdiri dari tujuh orang buruh, 26 orang petani, satu orang pialang, sembilan orang sopir, delapan orang swasta, satu orang tukang kusen dan satu orang awak kapal.
“Dari keseluruhan perkara tersebut, jumlah persentase kriminalisasi terhadap petani itu mencapai 43 persen,” jelasnya, Jakarta, Jumat, (15/05).
Masalahnya, lanjut Muhnur, di balik semua kasus tersebut ternyata tidak ada satupun korporasi yang berhasil dijerat oleh UU P3H. Kejahatan terorganisir yang menjadi sasaran dari UU P3H juga tak nampak dari perkara-perkara yang sudah diputus tersebut. Padahal, UU P3H diterbitkan utamanya untuk menjerat kejahatan-kejahatan terorganisir di sektor kehutanan.
Senada dengan Muhnur, advokat dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Andi Muttaqien juga berpendapat bahwa pemerintah seharusnya menjerat korporasi yang secara jelas telah melakukan kejahatan terorganisasi dalam merusak hutan. Namun menurut Andi, UU P3H malah digunakan untuk menangkap individu-individu yang tidak tahu hukum dan hanya melakukan kesalahan yang tidak disengaja.
“Angka kriminalisasi terhadap petani, masyarakat dan individu lainnya dikhawatirkan akan semakin bertambah, mengingat sebagian besar masyarakat adat tinggal berbatasan atau di dalam kawasan hutan. Sedangkan salah satu pasal dalam UU P3H, melarang setiap orang membawa peralatan yang dapat diduga digunakan untuk menebang pohon dan bagi pelanggarnya akan dipidana sebagaimana diatur dalam UU P3H,” ujarnya.
Oleh karena itu, jelas Andi, Tim Advokasi Anti Mafia Hutan yang mewakili petani, masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil, pada bulan September 2014 lalu telah mengajukan uji konstitusionalitas atas UU P3H ke Mahkamah Konstitusi. Koalisi Anti Mafia Hutan ini, katanya lagi, mendesak agar Mahkamah Konstitusi (MK) segera membatalkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013.
“UU ini dinilai telah menjadi dasar untuk melanggengkan kriminalisasi terhadap masyarakat lokal yang tidak bersalah,” tukasnya.
Sebagai informasi, sebelumnya, Majelis Hakim mengamini tuntutan Jaksa Penuntut Umum, bahwa Nenek Asiani terbukti bersalah melanggar pasal 12 huruf d juncto pasal 83 ayat 1a UU P3H yang berbunyi, “Setiap orang dilarang memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin.”
Akibat tuduhan PT Perhutani tersebut, Nenek Asiani divonis satu tahun dan denda Rp 500 juta subsider kurungan satu hari oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur.
Penulis: Danny Kosasih