Jakarta (Greeners) – Kelompok Kerja Kebijakan Konservasi (Pokja Konservasi) mendesak agar RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE) segera disahkan. Kehadiran UU baru harapannya dapat memberikan ketegasan penegakkan hukum dan ancaman sanksi yang lebih berat.
Pokja Konservasi menilai, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 (UU Konservasi) sudah tak relevan dengan praktek-praktek konservasi tingkat nasional dan internasional. Tingkat kejahatan dan modus perdagangan satwa liar semakin meningkat tapi tak sepadan dengan ancaman hukuman pelaku sehingga UU ini dinilai lemah.
“Kejahatan terhadap satwa liar meningkat 5-7 % per tahunnya. Modus kejahatan semakin canggih seperti perdagangan ilegal satwa liar secara online melalui media sosial dan platform e-commerce,” kata Juru Bicara Pokja Konservasi Adrianus Eryan dalam keterangannya.
Perlindungan Ekosistem Terpadu di RUU KSDAHE
Dalam hal ini, Pokja Konservasi menyampaikan pentingnya menekankan enam fokus isu dalam perlindungan keanekaragaman hayati. Mulai dari perlindungan ekosistem, spesies, genetik, medik konservasi, penegakkan hukum dan pendanaan konservasi.
Perlindungan ekosistem juga wajib terpadu antara darat dan laut. Kawasan konservasi yang ada saat ini lebih banyak berada di dataran tinggi, padahal keanekaragaman hayati tertinggi ada di daerah dataran rendah.
Terkait perlindungan spesies, terdapat ancaman berupa perdagangan ilegal satwa liar memicu risiko spesies invasif ke wilayah Indonesia. Oleh karena itu, DPR RI harus mempertahankan 3 kategori status perlindungan tumbuhan dan satwa liar.
Selain itu, belajar dari pandemi Covid-19, ancaman satwa liar sangat nyata. Oleh karena itu, perlu usulan definisi medik konservasi dan adopsi terhadap konsep one health untuk pencegahan dampak risiko zoonosis di masa depan pada kesehatan manusia.
Perlunya Perlindungan Genetik
Kemudian perlindungan sumber daya genetika perlu masuk ke dalam rancangan ini agar UU ini melindungi keanekaragaman hayati secara utuh. Ini menyusul dua isu besar yakni perlindungan genetik agar tak terjadi pembajakan (biopiracy) dan kehilangan jutaan dolar karena tak ada aturan pemanfaatannya.
Misalnya saat peneliti asing datang ke Indonesia mengambil data biologis dan pengetahuan tradisional tanpa izin. Selama ini banyak peneliti asing yang mengambil dan memanfaatkannya untuk kepentingan mereka.
Selain itu juga terdapat isu akses dan pembagian keuntungan dari sumber daya kehati Indonesia. Misalnya, pemanfaatan darah kepiting tapal kuda untuk menguji vaksin Covid-19.
Senada, ahli konservasi dari IPB Hadi Sukadi Alikodra menyatakan pentingnya memasukkan aspek perlindungan sumber daya genetika dalam RUU KSDAHE.
“Supaya ada dasar hukum untuk melakukan tindakan hukum bagi para pembajak sekaligus melindungi pengetahuan tradisional masyarakat hukum adat,” kata dia.
DPR telah mengusulkan RUU KSDAHE untuk menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 pada 17 Desember 2019. Penyesuaian ini perlu setelah 32 tahun masalah lingkungan mengalami banyak perubahan. RUU ini masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Mulai November 2022, DPR membahas RUU ini. Per April 2023, RUU KSDAHE sudah mencapai tahap pembahasan di pembicaraan tingkat I oleh para pihak-pihak terkait.
Anggota komisi IV DPR RI Daniel Johan menyatakan, sektor konservasi di Indonesia masih banyak mengalami permasalahan. “Selain perburuan dan perdagangan satwa dilindung masih marak terjadi, jumlah satwa langka semakin menyusut. Ini menjadi tantangan ke depan,” ujar dia.
Ia menyebut, saat ini dalam draft diajukan DPR telah memuat kekurangan UU Nomor 5 Tahun 1990. Mulai dari penguatan peran masyarakat dan masyarakat adat, pendanaan konservasi, hingga penguatan sanksi terhadap kejahatan konservasi.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin