Jakarta (Greeners) – Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta memprediksi adanya penambahan pendatang baru pascalebaran sebesar 20-30 persen atau sekitar 36.000-40.000 jiwa.
Jumlah pendatang ke Jakarta ini meningkat dalam tiga tahun terakhir. Mereka mengejar penghidupan dan pekerjaan yang layak. Hal ini perlu diantisipasi karena berpotensi meningkatkan angka kemiskinan, stunting, pengangguran, kriminalitas hingga pencemaran lingkungan.
Pada tahun 2020, tercatat 113.814 orang datang ke Jakarta. Jumlah ini meningkat menjadi 139.740 pendatang di tahun 2021. Kemudian, di tahun 2022 sebanyak 151.752 orang. Sementara itu, beberapa hari pascalebaran atau hingga 3 Mei 2023, jumlah pendatang mencapai 1.624 jiwa.
Pengamat Perkotaan Yayat Supriatna menyebut, Jakarta bukanlah satu-satunya kota tujuan bagi para pendatang. Ada beberapa daerah penyangga lainnya seperti Bekasi, Depok, Tangerang, Bogor, dan Cikarang.
“Urbanisasi yang datang ke Jakarta itu tidak semuanya menjadikan Jakarta sebagai kota tujuan utama, jadi mereka akan transit saja, kemungkinan mereka akan menyebar ke kota-kota lain,” kata Yayat, kepada Greeners, Jumat (5/5).
Dampak Urbanisasi terhadap Lingkungan
Melansir Jurnal Society, seiring percepatan urbanisasi, dampak yang akan terjadi yaitu maraknya permukiman kumuh dan kampung di tengah kota yang padat. Permukiman kumuh di Jakarta dapat dilihat di daerah tepi sungai, bawah jembatan, dan sepanjang pinggiran rel kereta api.
Selain itu, sebagian besar pendatang ini tidak mampu untuk membangun atau membeli perumahan yang layak bagi mereka sendiri. Akibatnya timbul perkampungan kumuh dan liar di tanah-tanah pemerintah.
Permasalahan lingkungan juga menjadi sorotan, sebab adanya pengalihan fungsi lahan secara berlebihan. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan alam karena pembangunan terjadi tanpa perencanaan yang komperehensif.
Pengelolaan sarana dan prasarana perkotaan yang tidak tepat juga turut menyumbang terhadap semakin tingginya angka kerusakan alam di Jakarta. Banjir, tanah longsor, polusi udara, tanah, air dan suara merupakan permasalahan lingkungan yang sangat mudah dijumpai di Ibu Kota.
Mengejar Peruntungan di Jakarta
Di balik arus urbanisasi yang terus meningkat, ada banyak alasan dari para pendatang mencari sumber kehidupan di Ibu Kota. Apalagi jika masih ada ketimpangan fasilitas antara perkotaan dan pedesaan.
Salah satu pendatang asal Padang, Sumatra Barat, Nurul (25) memilih merantau ke Jakarta, hanya untuk mendapat pekerjaan layak.
“Alasan utama ngerantau tentu saja ingin mengubah nasib ya, enggak muluk-muluk sih. Secara, orang sekitar di kampung kalau sudah lanjut kuliah ya kerja serabutan, pengangguran atau nikah,” ucap Nurul kepada Greeners.
Menurut Nurul, ia masih sulit mendapat pekerjaan di kampung halamannya, upahnya pun relatif rendah. Terlebih lagi, ia kuliah di perguruan tinggi seni dengan peluang pekerjaannya minim.
IKN Baru Masih Proses Pembangunan
Dalam menghadapi urbanisasi yang masif, DKI Jakarta telah bekerja sama dengan tujuh provinsi asal pendatang. Wilayah tersebut antara lain Lampung, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan lainnya.
Menurut Yayat, kerja sama tersebut tidak menjamin mencegah peningkatan urbanisasi secara tuntas. Pasalnya, di daerah pun tidak ada potensi lapangan pekerjaan bagi warganya. Oleh karena itu, mereka memilih mencari kesempatan bekerja ke Jakarta.
“Hidup di Jakarta itu semakin susah karena biaya hidupnya tinggi, sementara keterampilan mereka rendah jadi sulit untuk mencegahnya. Hal ini harus diatasi oleh pemerintah daerah dengan melihat data jumlah pengunjung dan pendatang,” ungkap Yayat.
Sementara itu, Ibu Kota Negara (IKN) baru belum bisa menjadi solusi yang efektif, karena masih dalam proses pembangunan dan belum ada aktivitas. Meskipun, nantinya tidak hanya orang Jawa yang merantau ke IKN, tetapi juga akan ada orang Sulawesi, Kalimantan, dan sekitarnya.
Penulis : Dini Jembar Wardani
Editor : Ari Rikin