Jakarta (Greeners) – Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas bersama Tim Pakar Modeling Gugus Tugas Covid-19 tengah menyusun protokol masyarakat produktif dan aman Covid-19 atau penyesuaian pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Penyusunan ini akan diterapkan pada wilayah yang berhasil mengendalikan wabah dan menunjukkan penurutnan tren kasus positif.
Berdasarkan protokol kesehatan yang disampaikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyesuaian PSBB harus memenuhi tiga kriteria. Kriteria pertama dan menjadi syarat mutlak adalah epidemiologi, yaitu Angka Reproduksi Efektif atau Rt kurang dari satu (RT<1) selama dua Minggu berturut-turut. Artinya, angka kasus baru telah menurun setidaknya selama periode tersebut.
Kriteria kedua adalah kapasitas sistem pelayanan kesehatan. Kriteria itu mensyaratkan kapasitas maksimal tempat tidur rumah sakit dan instalasi gawat darurat lebih besar dari jumlah kasus baru yang memerlukan perawatan di rumah sakit.
Baca juga: Emil Salim: Perkuat Swasembada Pangan untuk Hadapi Pandemi
Kriteria ketiga adalah pengawasan atau surveilans, misalnya, kapasitas tes swab yang cukup. Sesuai dengan kriteria tersebut, beberapa daerah yang telah memenuhi dapat melakukan penyesuaian PSBB. Namun, penerapan protokol Covid-19 menuju normal baru harus tetap diterapkan secara ketat. Pemantauan pelaksanaan protokol harus dilakukan secara rutin dan dievaluasi dampak kebijakannya. Jika kasus kembali meningkat, pelaksanaan PSBB dapat diterapkan kembali.
Menteri PPN Suharso Monoarfa mengatakan jika angka reproduksi efektif kurang dari satu dan jumlah kasus menurun di samping diterapkannya pelonggaran PSBB, virus tidak berarti hilang. Namun penyebarannya telah dapat dikendalikan. Menurut Suharso, masyarakat akan menuju normal baru beberapa bulan ke depan atau sampai tersedia vaksin dan obat Covid-19 hingga kasus dapat ditekan menjadi sangat kecil.
Ia mengatakan penerapan normal baru antara lain mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer secara rutin, memakai masker, dan menjaga jarak fisik, menyediakan tes Covid-19, serta tetap melakukan tracing, test, maupun isolasi secara sistematis.
“Hal yang harus kita perhatikan, yakni pada pelayanan kesehatan, surveilans, serta indikator yang lebih tajam untuk menyusun potokol ini. Kalau ketiga itu terpenuhi kriterianya, untuk daerah-daerah boleh masuk ke normal baru. Artinya bisa mengendalikan virus bahkan bisa menurunkan kasus positif sampai 0,” ujar Menteri Suharso pada konferensi pers daring, Kamis, (21/05/2020).
Menteri Suharso mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada daerah yang dapat menjadi percontohan untuk menerapkan nomal baru ini. Karena penilaian dan indikatornya masih akan disusun hingga dua Minggu ke depan. “Setelah dua Minggu, baru kita bisa mendapatkan mana daerah yang kira-kira bagus dan bisa menjadi contoh. Tren Rt di semua wilayah saat ini masih di atas 1,0. DKI Jakarta, Jabar dan Jateng sudah menunjukkan tren Rt<1 artinya menunjukkan penurunan jumlah kasus. Namun, kita lihat dua minggu ke depan,” ujarnya.
Baca juga: Pelonggaran PSBB Berpotensi Melanggar HAM
Sementara itu, dr. Panji Fortuna Hadisoemarto M.P.H., Ph.D., Peneliti dan Pengajar Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran sekaligus anggota Tim Pakar Modeling di bawah Tim Pakar Gugus Tugas Covid-19 menganjurkan pemerintah untuk melihat indikator lain dalam pelonggaran PSBB dan tidak hanya mengacu pada penurunan Angka Reproduksi Efektif.
“Angka reproduksi efektif di bawah 1 ini belum cukup. Harus diketahui turunnya mau di angka berapa. Karena kalau turunnya 0,99 itu masih angka yang mendekati 1. Angka reproduksi harus diestimasi di level yang lebih kecil dan homogen. Selain itu, adanya dasar perhitungan yang mewakili bagaimana penyebaran virus ini terjadi,” ujarnya.
Menurutnya, wilayah yang akan menetapkan pelonggaran PSBB harus meningkatkan kapasitas tes swab. Tujuannya untuk memastikan tidak ada kasus serupa atau bahkan menyebabkan gelombang pandemi kedua. “Walaupun dilonggarkan upaya surveilans justru diperketat sehingga jika ada kasus baru atau cikal bakal adanya epidemi terulang maupun gelombang ke sekian harus terdeteksi secepat mungkin,” ujarnya.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani