Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengaku telah menetapkan plot-plot pengukuran populasi orangutan di beberapa habitatnya karena orangutan adalah salah satu dari 25 spesies prioritas yang dipantau populasinya oleh pemerintah. Direktur Jendral Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno mengatakan bahwa selain penetapan plot-plot populasi orangutan, pemerintah juga terus berupaya melakukan sosialisasi pada masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian mamalia asli Indonesia tersebut.
“Selain sosialisasi, penegakan hukum juga masih terus digalakan,” katanya kepada Greeners, Jakarta, Sabtu (19/08).
Menurut Wiratno, strategi pengelolaan orangutan telah dituangkan dalam Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia yang merupakan hasil kerjasama multipihak antara pemerintah, Forum Orangutan Indonesia (Forina), akademisi, pakar dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Di lapangan, kegiatan penyelamatan orangutan yang dibarengi dengan pelepasan hingga translokasi atau pemindahan.
“Termasuk di dalam SRAK itu ada identifikasi lokasi yang memungkinkan menjadi habitat orangutan, baik di dalam kawasan konservasi maupun yang di luar kawasan konservasi. Nantinya, untuk di luar kawasan konservasi bisa dijadikan sebagai kawasan esensial,” tambahnya.
BACA JUGA: Pemulangan Orangutan dari Thailand Terkendala Proses Hukum Setempat
Terkait perubahan status orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang sebelumnya berstatus “Kritis” (Endangered) lalu turun menjadi “Sangat Terancam Punah” (Critically Endangered) dalam daftar merah Organisasi PBB untuk konservasi lingkungan hidup (International Union for Conservation Nature/IUCN), Wiratno mengatakan bahwa hingga saat ini, pihak pemerintah Indonesia masih belum memberikan respon karena masih menunggu hasil pendataan populasi dan analisis kelangsungan hidup orangutan di habitatnya. Analisis ini melibatkan pakar orangutan dari dalam dan luar negeri.
“Saat ini hasilnya dalam proses finalisasi. Berdasarkan informasi yang kami peroleh, perubahan status tersebut dasar pertimbangannya adalah berubahnya kawasan hutan yang kemudian dihitung secara ekstrapolasi (perkiraan tanpa pengamatan langsung di wilayah aslinya), dan ini masih jadi perdebatan. Dalam waktu dekat setelah hasil analisis final maka kita akan merespon perubahan tersebut,” katanya.
Instrumen penjaga hutan
Terkait Hari Orangutan Internasional yang diperingati pada 19 Agustus ini, CEO The Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), Dr. Ir. Jamartin Sihite menyampaikan bahwa masyarakat harus bisa menganggap orangutan sebagai instrumen penjaga hutan yang telah disediakan alam untuk manusia. Menurutnya, banyak tindakan manusia yang secara sadar telah membuat orangutan semakin punah populasinya seperti membuka lahan dengan membakar hutan, memburu satwa liar seperti orangutan, dan menggerogoti kekayaan alam dalam volume yang luar biasa besar tanpa memberi kesempatan bagi alam untuk regenerasi.
“Ini perlu dihentikan sekarang juga. Jika konservasi tidak menjadi prioritas kita dan kita tidak melestarikan alam, maka kita manusia tidak akan bertahan. Sesederhana itu,” tuturnya.
BACA JUGA: Revisi UU Nomor 5 Tahun 1990 Harus Hindari Tumpang Tindih Peran Kementerian
Upaya konservasi sendiri diakuinya merupakan sebuah kerja kolektif dan bukan sekadar masalah hewan yang menghadapi kepunahan, tapi lebih luas lagi adalah masalah kepunahan masyarakat sebagai manusia. Orangutan adalah satwa umbrella species yang diketahui berfungsi menjaga dan memperbaiki kualitas hutan. Penelitian ilmiah membuktikan hal ini. Hutan yang dihuni populasi orangutan liar akan terjaga kualitasnya secara berkelanjutan. Jika orangutan hilang, maka hutan itu akan rusak dalam waktu beberapa tahun saja.
“Memang ini hanya berlaku di hutan-hutan dataran rendah di Sumatra dan Kalimantan sebagai lokasi populasi orangutan saja. Namun selama manusia masih membutuhkan jasa lingkungan dari hutan berupa air bersih, udara bersih, iklim yang teratur, sudah selayaknyalah kita jaga instrumen alami yang membantu menjaga kualitas hutan tersebut. Bukannya mengabaikannya, apalagi memunahkannya,” kata Jamartin.
Sebagai informasi, menurut catatan KSDAE, jumlah individu orangutan Sumatera yang ada di alam sebanyak 6.000 individu dan orangutan Kalimantan sebanyak 65.000 individu.
Sementara di penangkaran, tercatat sebanyak 51 individu orangutan berada di Sumatran Orangutan Conservation Program (SOCP) Medan, 289 individu di Orangutan Foundation International (OFI) Pangkalan Bun, 447 individu di Yayasan BOS Nyarumenteng, 180 individu di Yayasan BOS Samboja, 5 individu di Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (Balitek KSDA) Samboja, 18 individu di Center Orangutan Protection Kaltim, dan 40 individu di Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) Ketapang. “Ini semua kondisi tahun 2017,” terang Wiratno.
Penulis: Danny Kosasih