Jakarta (Greeners) – Pengolahan sampah dengan termal di tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) diklaim cepat dan menghasilkan sesuatu yang konkret. Namun di mata organisasi penggiat lingkungan, cara ini menghilangkan satu masalah dan menimbulkan masalah baru.
Sementara itu, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mendorong agar seluruh kabupaten atau kota lain di tanah air dapat melakukan sistem pengelolaan sampah seperti di TPST Kesiman Kertalangu, Denpasar, Bali.
Dalam kunjungannya ke TPST Kesiman tersebut, Jokowi menyatakan, TPST ini merupakan pengolahan sampah pertama yang Jokowi ketahui mempunyai sistem yang tak ruwet dengan hasil yang konkret.
Dalam keterangannya, Jokowi pun ingin daerah lain mencontoh cara penanganan sampah itu. TPST Kota Denpasar di Kesiman Kertalangu dibangun melalui pinjaman dari World Bank mampu mengolah 450 ton sampah per hari. Adapun hasil pengolahan sampah di TPST ini yakni pelet atau briket refuse-derived fuel (RDF) hingga bubur sampah.
Daerah Genjot Pembangunan TPST
Guna mengurangi sampah berakhir di tempat pemrosesan akhir (TPA) maka pembangunan TPST di daerah terus digenjot. Seperti halnya di Sidoarjo, Jawa Timur yang saat ini memiliki sebanyak 174 unit TPST.
Dalam kunjungan Greeners beberapa waktu lalu ke Sidoarjo, TPST mulai menjamur. Namun apakah pembangunan TPST menjadi solusi paling efektif untuk mengurangi sampah?
Teknisi peralatan dan mesin di TPA Jabon Opi Wisnu mengatakan, pendirian TPST harapannya bisa mengurangi tumpukan sampah di TPA Jabon.
“Memang arahan dari Pak Kadis, programnya mendirikan TPST bahkan untuk setiap desa agar sampah yang dikirim ke TPA Jabon tak menumpuk,” katanya.
Lebih jauh, ia menyebut jika semua desa memiliki TPST maka dapat sampah akan tuntas di tingkat desa. Saat ini, Kabupaten Sidoarjo menghasilkan 500 ton sampah per hari.
Keberlanjutan TPST
Salah satu pengelola TPST di Sidoarjo adalah PT Bakti Bumi. Delapan tahun PT ini mengelola TPST Banjarbendo, di Suko, Sidoarjo, Jawa Timur. Managemen produksinya pun terus mengalami perubahan.
Sebelumnya, dalam sehari TPST ini mampu mengolah sampah hingga 50 ton per hari dan menghasilkan briket atau pelet RDF sebesar 3 – 5 ton. Briket ini mereka jual ke industri-industri rumahan di sekitarnya, seperti industri tahu hingga kerupuk.
Khusus untuk briket terdiri atas 95 % organik dan 5 % anorganik. Bahan briket ini berbentuk setengah cair menyerupai tanah lalu masuk dalam proses pemadatan dengan tekanan panas 300 derajat.
Seperti halnya TPST pada umumnya, sampah yang masuk melalui proses pemilahan antara organik dan anorganik. Kemudian dikeringkan lalu masuk ke dalam mesin pencetak briket. Sedikitnya terdapat beberapa mesin peralatan, yakni alat pemilah, mesin pencacah, hingga pencetak briket dengan daya listrik total sekitar 50.000 watt.
Koordinator pengelola TPST Desa Banjarbendo, Sugianto menyatakan, harga briket memang cukup mahal daripada produk RDF yang lain seperti serbuk menyerupai batu bara, dan flav. Satu kilogram briket seharga Rp 700. Sementara untuk yang lain kisaran Rp 250 hingga Rp 350.
Beban Produksi Lebih Besar
Sugianto menambahkan, sejak 1 Januari 2023 lalu, pemrosesan ia lakukan di TPA Jabon. Sebab, biaya produksi seperti pemeliharaan alat dan daya listriknya sangat mahal tak sebanding dengan hasilnya.
Ia menyebut, saat ini industri-industri kecil sekitar tengah ia dorong untuk tak lagi menggunakan briket, tapi produk RDF lainnya.
Merespon hal ini, pengamat persampahan Institut Teknologi Bandung (ITB) Enri Damanhuri menilai, pembangunan dan keberlanjutan TPST harus dengan komitmen pemerintah daerah.
“Tentunya beriringan dengan upaya pengurangan sampah berbasis masyarakat yang membutuhkan pendampingan pemda terus menerus,” katanya menjawab Greeners.
Pemicu Masalah Lebih Kompleks
Hingga saat ini banyak aktivis dan peneliti yang menentang proyek-proyek pengelolaan sampah menggunakan teknologi termal.
Selain gagal karena biaya operasionalnya yang tinggi, juga sama sekali tak menjadi solusi perbaikan sistem pengelolaan sampah untuk mengurangi emisi karbon. Bahkan, berdampak buruk terhadap kesehatan.
Peneliti Ecoton Eka Chlara Budiarti menyatakan daur ulang sampah plastik menjadi pelet atau bentuk baru menimbulkan masalah yang kompleks. Saat plastik kita lelehkan, hingga menjadi produk pelet ada sisa hasil cacahan yakni mikroplastik.
“Mikroplastik yang tak kasat mata dapat terhirup maupun terserap ke dalam pori-pori kulit sehingga dapat menumpuk di organ tubuh, bahkan terbawa masuk ke peredaran darah,” ujar dia.
Founder Nol Sampah Hermawan Some juga berpandangan senada. Berdasarkan kajiannya di salah satu TPA di Lombok, NTB baik penjualan briket maupun RDF tidak akan mampu menutup biaya produksinya.
“Penjualan hanya kisaran Rp 400 hingga Rp 700 saja. Tapi baik cost RDF maupun briket bisa sampai Rp 1.500 per kilogram,” kata dia.
Dalam hal ini, pemerintah harus berkomitmen untuk memberikan subsidi agar mampu memastikan keberlanjutannya. “Jangan sampai seperti di TPA Ponorogo yang hanya beberapa bulan saja bisa jual briket lalu berhenti begitu saja,” ujar dia.
Pemanfaatan produk RDF hanya boleh khusus untuk PLTU dan industri semen. Itu artinya, produk ini tak sembarang bisa kita pakai untuk proses pembakaran, seperti halnya industri-industri kecil yang tak memiliki pembakaran optimal. “Itu bisa melanggar hukum karena bagian pencemaran udara,” tandasnya.
Penulis: Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin