Bonn (UNFCCC) – Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) 2017 secara resmi dibuka pada Senin ini di Bonn, Jerman. Diadakannya konferensi ini bertujuan untuk mengajak negara-negara di dunia untuk bersama-sama mewujudkan ambisi dalam upaya memerangi pemanasan global dan mewujudkan dunia yang lebih aman dan sejahtera.
Konferensi ini diadakan tepat dua tahun setelah Kesepakatan Paris (Paris Agreement) diadopsi. Selain berambisi untuk memerangi pemanasan global, konferensi ini juga akan mendorong dan mengajak banyak negara serta masyarakat dunia untuk terus mendukung Agenda Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 2030.
Cuaca ekstrem lahirkan urgensi baru
Dipimpin oleh Perdana Menteri Republik Kepulauan Fiji, Frank Bainimarama, Konferensi Perubahan Iklim 2017 digagas setelah terjadinya berbagai bencana yang disebabkan oleh perubahan cuaca secara ekstrem. Berbagai bencana seperti badai, kebakaran hutan, kekeringan, banjir bandang, dan kelangkaan pangan telah menghancurkan kehidupan jutaan orang di berbagai belahan dunia seperti Asia, Amerika, dan Karibia.
“Perubahan iklim telah memberikan banyak bencana alam, dan kita tidak bisa diam saja. Kita harus mempertahankan kesepakatan global untuk mewujudkan ambisi yang tercantum dalam Kesepakatan Paris, yakni membatasi peningkatan rata-rata suhu dunia menjadi 1,5 derajat Celsius di atas suhu dunia ketika jaman pra-industri,” tutur Frank dalam sambutannya ketika membuka konferensi ini, seperti dilansir dalam keterangan resmi yang diterima Greeners, Rabu (8/11).
BACA JUGA: Tahun 2017 Ditetapkan Menjadi Satu dari Tiga Tahun Terpanas
Dalam sambutannya, Frank menuturkan bahwa partisipasi masyarakat dunia, dari negara manapun, sangat diperlukan demi menyukseskan UNFCCC 2017 yang dikenal juga sebagai Pertemuan Para Pihak (Conference of the Parties/COP) ke-23. Fiji sendiri telah membangun Koalisi Besar untuk menentukan langkah yang terkoordinasi oleh pemerintahan di berbagai level, masyarakat sipil, sektor privat, dan seluruh umat manusia. Fiji, lanjutnya, siap mengajak negara lainnya untuk membuat COP23 sukses dalam menghadapi tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia saat ini.
Selain itu, Sekretaris Eksekutif PBB untuk Perubahan Iklim, Patricia Espinosa, menyatakan bahwa COP23 hadir untuk menunjukkan dua wajah perubahan iklim pada dunia. Pertama, perubahan iklim hadir sebagai titik awal bagi pemerintahan di dunia untuk aktif dan saling bekerja sama dalam mewujudkan ambisi yang tercantum pada Kesepakatan Paris.
“Yang kedua, perubahan iklim hadir untuk menyampaikan kenyataan bahwa dunia semakin mengarah ke hal negatif. Hal tersebut turut menjadi alasan besar bagi seluruh umat manusia untuk berambisi dan beraksi pada tingkatan yang baru,” tuturnya.
Negosiasi pemerintah
Dalam COP23, terjadi juga negosiasi antar pemerintah yang dinamai dialog Talanoa. Dialog tersebut akan didukung oleh tiga pertanyaan dasar: Di mana kita? Ke mana kita ingin pergi? Bagaimana kita bisa sampai di sana? Nantinya, negosiasi tersebut akan disimpulkan pada COP24 yang akan dilaksanakan di Polandia pada tahun depan.
Dalam negosiasi tersebut, para pemerintah dari berbagai belahan dunia akan bekerja berdasarkan sistem operasi Kesepakatan Paris. Mereka juga akan berunding, merinci dan mencatat situasi global yang terus berkembang serta memfasilitasi implementasi peraturan yang akan berjalan. Selain itu, perwakilan dari berbagai negara yang hadir di COP23 juga akan terus berusaha untuk maju dalam menyelesaikan masalah lain yang belum selesai dibahas oleh konvensi ini.
BACA JUGA: KLHK Pastikan Kepentingan Indonesia Terakomodasi pada COP 23
Sebagai informasi, Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) 2017 diselenggarakan pada tanggal 6-17 November 2017 di Bonn, Jerman. Konferensi ini beranggotakan 197 negara yang berkomitmen untuk mengurangi peningkatan suhu global sebanyak 2 derajat Celcius yang tertuang dalam Kesepakatan Paris (Paris Agreement) pada penyelenggaraan COP21 di Paris, Perancis.
Penulis: (*)