Jakarta (Greeners) – Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya diusulkan untuk diperbarui. Organisasi masyarakat sipil Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), mengatakan penegakan hukum di bidang tumbuhan dan satwa liar memerlukan dasar hukum yang lebih kuat. Namun, pemerintah menyatakan undang-undang tersebut belum perlu direvisi karena dianggap masih relevan dengan permasalahan sumber daya alam (SDA) hayati.
“Titik lemah dari regulasi perumusan pidana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah berbagai tindakan dijadikan dalam satu pasal. Mulai dari menangkap, memiliki, memperjualbelikan. Karena itu dampaknya berbeda-beda, tapi itu diatur dalam satu pasal dan memiliki konsekuensi yang sama. Akibatnya ada hukuman yang tidak adil,” ujar Peneliti Khusus Konservasi ICEL, Antonius Aditantyo Nugroho, kemarin.
Antonius mengatakan ada beberapa hukum konservasi yang belum diatur di antaranya, kejahatan konservasi yang terorganisir, kejahatan konservasi sebagai kejahatan yang dilakukan korporasi, tanggung jawab pemulihan tumbuhan satwa yang dilindungi, dan pengaturan pidana maupun ancamannya.
Baca juga: Dana Riset Minim, Keanekaragaman Hayati Rentan Tidak Teridentifikasi
Anggota Satgas Sumber Daya Alam-Luar Negeri (SDA-LN) Kejaksaan Agung, Heru Prasetyo, S.H juga menyampaikan urgensi pembaruan kebijakan. Ia mengutarakan kerumitan dalam mengonstruksikan pemidanaan penegakan hukum. “Kami kesulitan dalam mengonstruksikan apa yang dimaksud sebagai kelalaian dan bagaimana kejahatan konservasi sebagai kejahatan terorganisir. Karena kejahatan terorganisir ini lebih dari sekadar penyertaan pidana, tetapi UU Nomor 5 Tahun 1990 tidak memberikan definisi dan ketentuan yang jelas,” ucap Heru.
Penegakan hukum terhadap satwa liar yang masih lemah, misalnya, dibuktikan dengan kejadian dua gajah Sumatera yang mati secara beruntun selama November 2019 di Riau dan Aceh. Satwa yang dilindungi tersebut diketahui mati akibat perburuan gading. Sedangkan pelaku pembantaian hingga kini masih berkeliaran.
Menurut Forum Gajah Indonesia, kematian dua gajah tersebut kemungkinan besar dilakukan oleh kelompok yang sama. Kejadian serupa juga pernah terjadi di tahun 2010 dan 2016, saat kelompok pemburu gading mengeksekusi gajah di Riau, Aceh, dan Lampung.
Didukung Masuk Program Prolegnas Prioritas
Deputi Direktur ICEL. Raynaldo G. Sembiring, S.H. sekaligus juru bicara kelompok kerja (Pokja) Konservasi, mendesak legislatif agar menjawab tantangan penegakan hukum dan perlindungan atas pengetahuan tradisional serta sumber daya genetik.
Baca juga: Indonesia Tidak Memiliki Data Pasti Keanekaragaman Hayati Laut
Merespons desakan tersebut, anggota Baleg dari Fraksi Golkar Dapil DKI-Jakarta II, Christina Ariyani, mendukung agar pengajuan pembaruan masuk ke dalam program legisnasi nasional (prolegnas). “Menjadi tugas kita sebagai DPR di Baleg, khsususnya, untuk memasukkan ini ke dalam prolegnas prioritas karena ancaman itu riil,” kata dia.
Taufik Basari, Ketua Fraksi Nasional Demokrat (NasDem) turut menyetujui usulan yang dibahas Baleg. “Fraksi Partai Nasdem mendukung RUU ini dimasukkan dalam prolegnas. Karena ada kebutuhan terkait perkembangan zaman yang harus mampu diakomodir perubahan undang-undang, sekaligus menjawab tantangan global yang makin kompleks antara manusia dengan sesama makhluk lainnya,” ujar Taufik.
Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Baleg pada Selasa, (26/11) dihadiri 25 dari 80 anggota dan sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti ICEL, Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP), dan Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI).
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani