Jakarta (Greeners) – Organisasi Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia mengungkapkan bahwa sejumlah korporasi kelapa sawit telah menguasai hutan Indonesia. Ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar juga dinilai telah mengakibatkan degradasi lingkungan. Perluasan lahan yang semula berada di wilayah besar Sumatera dan Kalimantan kini dianggap sudah mulai mengarah ke bagian timur Indonesia seperti Maluku dan Papua.
“Di Papua dan Maluku terdapat satu perusahaan besar yang mendegradasi hutan untuk perkebunan kelapa sawit, yakni Korindo Grup,” ujar Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia Edi Sutrisno pada diskusi daring Mengungkap Kejahatan Korporasi di Papua, Selasa, (30/06/2020).
Data TuK Indonesia mencatat PT KG telah menguasai lahan perkebunan sawit seluas 159 ribu hektare. Sebanyak 50 persen dari total konsesi tersebut merupakan aset terlantar. Edi mengatakan hal tersebut berarti kawasan hutan tidak dapat dikembangkan menjadi perkebunan karena adanya reformasi dan perubahan peraturan dalam negeri maupun internasional. “Hal itu pasti memiliki dampak merugikan yang luar biasa bagi sosial ekologi,” kata dia.
Baca juga: YLKI Pertanyakan Temuan Obat dan Jamu Herbal Penangkal Covid-19
Edi menuturkan perusahaan Korindo Grup yang memiliki anak perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Gelora Mandiri Membangun (PT GMM) memiliki banyak pelanggaran lingkungan hidup. Menurutnya pelanggaran tersebut meliputi pembabatan hutan di wilayah Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Area pembangunan perkebunan kelapa sawit PT GMM diketahui seluas 11 ribu hektare.
Sedangkan di bagian selatan Boven Digoel atau utara Merauke, menurut data Forest Watch Indonesia hutan alam sudah dibuka menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar. Daerah Bupul, Muting, dan Asiki menjadi wilayah-wilayah yang dikuasai perkebunan kelapa sawit dari grup besar Korindo.
Hutan di sekitar Lembah Grime, Kabupaten Jayapura juga tak luput dari rencana konsesi perkebunan kelapa sawit. Empat perusahaan yang menguasai perkebunan kelapa sawit di antaranya PT Kopermas Tangtey, PT Permata Nusa Mandiri, PT Rimba Matoa Lestari, dan PT Lembah Grime Plantations. Rencana industri kelapa sawit tersebut akan berada di wilayah konsesi seluas 10.831 hektare.
Pastor Anselmus Amo, Direktur SKP Keuskupan Agung Merauke mengatakan deforestasi yang terjadi di Papua Selatan berdampak pada rencana provinsi baru di Papua yang meliputi Kabupaten Mappi, Boven Digoel, Asmat, dan Merauke. Anselmus mengatakan hilangnya hutan-hutan yang berada di Kalimaro Papua mengakibatkan kejadian banjir di Kota Merauke.
“Kalau mau jadi provinsi harusnya tidak boleh terjadi deforestasi karena konsekuensinya akan besar. Dari sisi masyarakat adat dengan terbukanya lahan hutan dijadikan perkebunan kelapa sawit, masyarakat tidak diuntungkan, malah kita mengalami kesulitan,” ujar Amo.
Keterbukaan Rantai Pasok Keuangan Perusahaan Sawit
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam publikasinya yang berjudul Statistik Kelapa Sawit Indonesia melaporkan bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto merupakan yang terbesar ketiga. PDB merupakan salah satu indikator penting untuk mengetahui perkembangan perekonomian suatu negara. Laporan yang diterbitkan pada 2019 itu menyebut sektor pertanian menyumbang PDB sebesar 12,81 persen. Sedangkan subsektor perkebunan yang di dalamnya termasuk sawit menyumbang sekitar 3,30 persen dari total 25,75 persen PDB.
Edi mengatakan seharusnya pemerintah bersedia membuka transparansi rantai pasok keuangan industri sawit. Fungsi keterbukaan tersebut, kata dia, agar publik dapat melacak dan memastikan bahwa produksi hasil sawit Indonesia didapat maupun diproduksi secara legal serta terbebas dari konflik sosial juga lingkungan. “Langkah ini akan menjadi modal penting pemerintah untuk membantah tudingan-tudingan miring produksi sawit Indonesia,” ucapnya.
Baca juga: Deforestasi Terus Bergerak ke Wilayah Timur Indonesia
Menurutnya keterbukaan informasi rantai pasok juga akan memudahkan masyarakat untuk mengetahui investor dan lembaga keuangan yang menjadi penyandang dana pelaku industri sawit di Indonesia. Edi menyebut, dari catatan TuK Indonesia terdapat lima bank yang memberikan layanan keuangan bagi pelaku industri sawit di Indonesia dari 2014 sampai 2018.“Penyandang dana terbesar pertama adalah Bank Mandiri, disusul Bank Negara Indonesia (BNI), lalu Malayan Banking, CIMB, dan Bank Oversea Chinese Banking Corporation (OCBC),” ujarnya.
Ia menuturkan Bank Negara Indonesia (BNI) menjadi salah satu dari lima bank terbesar penyandang dana sawit. Posisi Badan Usaha Milik Negara tersebut termasuk ke dalam kategori tiga teratas pemberi dana terbesar kepada perusahaan yang terafiliasi terhadap kejadian kebakaran hutan lahan. Menurut Edi lembaga pemerintah seharusnya lebih waspada dalam membiayai korporasi
“Kami melihat sumber pembiayaan perusahaan Korindo dibiayai oleh BNI dengan jumlah pinjaman 190 juta USD atau Rp2,84 miliar yang tercatat pada 2017. Pinjaman tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun dengan angka kenaikan 19 persen setiap tahunnya,” ujarnya.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani