Jakarta (Greeners) – Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Samtaku Jimbaran terbakar pada Rabu, (17/7). Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menilai bahwa kebakaran terjadi karena kelalaian dan kegagalan pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah. Kebakaran TPST mengingatkan pemerintah daerah untuk mengevaluasi dan memperbaiki pengelolaan sampah di Bali untuk mencegah kebakaran TPST lainnya.
Menurut keterangan saksi, api mulanya membakar gudang area TPST Samtaku Jimbaran, disinyalir akibat korsleting listrik pada panel listrik. Sekitar 11 unit mobil Pemadam Kebakaran (DamKar) Badung dari lima pos dikerahkan untuk menangani peristiwa kebakaran tersebut. Namun, hingga Rabu sore, petugas DamKar belum bisa membeberkan penyebab pasti kebakaran.
“Apinya mulai ada dari pukul setengah 5 pagi, dan pemadam kebakarannya kira-kira sampai pukul 7 pagi. Asapnya sesekali ke rumah (saya) saat ada angin,” ungkap Kadek, salah satu warga yang tinggal di sekitar TPST Samtaku Jimbaran, Kamis (18/7).
AZWI, Nexus3 Foundation, PPLH Bali bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali menyoroti peristiwa kebakaran TPST Samtaku Jimbaran. Mereka mendesak pihak berwenang untuk segera melakukan investigasi mendalam terhadap penyebab kebakaran, mengambil langkah-langkah preventif untuk mencegah kejadian serupa di TPA/TPST lain, dan mencabut izin operasional TPST Samtaku.
BACA JUGA: Kebakaran TPA di Kota Batu Tanda Tak Serius Kelola Sampah
Kebakaran TPST Samtaku Jimbaran harus menjadi pembelajaran, khususnya bagi pemerintah. Sejumlah organisasi masyarakat sipil mengatakan bahwa sejak awal pembangunan TPST Samtaku tidak memperhatikan persiapan dan edukasi di masyarakat sebelumnya. Sebaliknya, pemerintah malah membangun fasilitas tanpa memberikan pendidikan tentang cara memilah sampah.
“Malu sebenarnya sebagai warga Bali, karena TPST ini awalnya sangat digadang-gadang menjadi percontohan pertama dalam pengelolaan sampah di Bali. Sudah banyak provinsi lain datang untuk studi tiru, tetapi kenyataannya hasilnya tidak optimal,” kata Direktur PPLH Bali Catur Yudha Hariani lewat keterangan tertulisnya, Kamis (18/7).
Berdasarkan keterangan AZWI, sejak Januari 2024 TPST Samtaku Jimbaran sudah tidak beroperasi lagi. Penyebab penutupan TPST pionir Kabupaten Badung itu salah satunya adalah kerusakan mesin secara beruntun.
Ancam Kesehatan Masyarakat
Dampak kebakaran TPST di Jimbaran itu menimbulkan bau tidak sedap, asap, dan mengganggu kesehatan warga sekitar. Catur berharap kejadian ini menjadi peringatan kepada pemerintah supaya tidak mudah tergiur untuk menerapkan teknologi.
Masyarakat sekitar TPST inilah yang menjadi kelompok paling terdampak kebakaran. Tumpukan sampah plastik yang terbakar menimbulkan asap yang mengandung racun berbahaya dan karsiogenik bagi kesehatan masyarakat.
Kandungan itu seperti dioksin, furan, PFAS, particulate matter (PM2.5, PM10), karbon (CO, CO2, black carbon), logam berat, NOx, serta PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbons). Polutan-polutan ini dapat menyebabkan gangguan pernapasan, pusing, mual, dan muntah dalam jangka pendek. Kemudian, meningkatkan risiko kanker paru, gangguan kognitif, dan penyakit jantung dalam jangka panjang.
BACA JUGA: Kebakaran TPA Tanda Pola Pengelolaan Sampah Belum Berubah
Senior Advisor Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati mengatakan bahwa kemasan plastik mengandung bahan kimia berancun pengganggu hormon. Karsinogen juga dapat membahayakan kesehatan saat terbakar atau dibakar, salah satunya dalam bentuk pelet atau briket pada Refuse Derived Fuel (bahan bakar dari sampah).
Apabila kimia-kimia berbahaya dan beracun tersebut terlepas ke udara, bisa meningkatkan risiko kesehatan warga sekitar TPST. Tahun lalu sampai awal April 2024, ada dua warga yang bermukim dekat TPST meninggal akibat menderita kanker. Hal itu diperburuk oleh asap dari proses pembuatan RDF dan pembakaran sampah di TPST.
Catur berharap pemerintah tidak mudah mengeluarkan izin pendirian TPST di tengah pemukiman. Pemerintah harus segera mengevaluasi dan monitoring ke TPST lainnya yang ada di Bali agar tidak ada kejadian yang sama.
TPST Samtaku Jimbaran Timbulkan Kontra
Berdirinya TPST Samtaku Jimbaran sejak awal menimbulkan banyak kontra dari masyarakat setempat. Direktur LBH Bali, Rezki Pratiwi mengatakan masyarakat kecewa karena tidak ada transparasi saat pembangunan TPST tersebut. Kemudian, hak-hak warga untuk mendapatkan lingkungan yang bersih pun terancam akibat operasional TPST selama ini.
“Sejak awal keberadaan TPST Samtaku di tengah-tengah pemukiman warga sudah menyalahi rencana tata ruang. Bahkan, melanggar hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” kata Rezki.
Aktivitas TPST ini sudah merugikan warga, seperti aliran limbah air lindi mengalir ke pekarangan mereka. Belum lagi arus truk sampah yang keluar masuk dan warga menghirup udara yang tidak sedap dari sampah.
Semestinya, lanjut Rezki, pembangunan fasilitas TPST harus menyertakan standar operasional yang memadai serta edukasi kepada masyarakat. Kegagalan operasional TPST sejenis ini kemungkinan besar dapat terjadi juga di TPST lainnya.
Selama tiga tahun terakhir, operasional TPST juga tidak berjalan dengan baik. Bau yang dari penumpukan sampah organik, pemilahan sampah campuran, serta bau dan asap dari proses pembuatan briket RDF, mengganggu kehidupan sehari-hari warga sekitar TPST.
“Selain menimbulkan ketidaknyamanan, warga juga mengeluhkan berbagai gangguan kesehatan, seperti sesak nafas, pusing, dan mual. Hal ini terjadi karena lokasi TPST Samtaku Jimbaran berada di sekitar pemukiman dan berjarak kurang dari 100 meter dengan rumah-rumah terdekat,” ucap Rezki.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia