Tiga Ahli Ternama Bersaksi dalam Sidang Kabut Asap di Palembang

Reading time: 4 menit
Sidang kabut asap di Palembang. Foto: Greenpeace/Abriansyah Liberto
Sidang kabut asap di Palembang. Foto: Greenpeace/Abriansyah Liberto

Jakarta (Greeners) – Babak pembuktian sidang gugatan kasus kabut asap yang diajukan sebelas warga Sumatra Selatan masih berlanjut. Kali ini, pihak penggugat menghadirkan tiga ahli ternama di bidang ilmu tanah dan lahan basah, hukum lingkungan, serta bisnis dan hak asasi manusia (HAM). Mereka hadir sebagai saksi ahli dalam sidang pemeriksaan di Pengadilan Negeri Palembang.

Para ahli memberikan keterangan terkait dugaan pelanggaran hukum dan HAM di balik kabut asap. Asap tersebut berasal dari kebakaran hutan dan lahan gambut di area konsesi tiga perusahaan kayu. Ketiga perusahaan itu adalah PT Bumi Mekar Hijau (BMH), PT Bumi Andalas Permai (BAP), dan PT Sebangun Bumi Andalas (SBA) Wood Industries, yang berada di bawah kendali Asia Pulp and Paper (Grup Sinar Mas).

Ketiga saksi ahli yakni guru besar hukum lingkungan Universitas Indonesia, Andri Gunawan Wibisana, dan guru besar sekaligus dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Iman Prihandono. Kemudian, turut hadir ahli gambut, yang juga guru besar ilmu tanah dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Azwar Maas yang hadir secara virtual.

BACA JUGA: Sidang Kasus Kabut Asap di Sumatra Selatan Masuk Babak Pembuktian

Dalam sidang kabut asap tersebut, Azwar menerangkan bahwa lahan gambut memiliki karakteristik suka air (hydrophilic). Sehingga, tidak mungkin menjadi kering dengan sendirinya.

“Ketika gambut kemudian dibuka untuk saluran air, maka kandungan air dalam lahan gambut akan menguap. Proses inilah yang dapat mengeringkan lahan gambut dan mengubah karakteristiknya berubah menjadi takut air (hydrophobic),” kata Azwar di Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Kamis (10/4).

Menurutnya, kondisi ini berbahaya. Sebab, akan membuat lahan gambut mudah terbakar. Jika sampai terbakar, kebakaran yang terjadi akan terus berlanjut karena akan sangat sulit untuk membasahi area yang luas.

Saksi ahli dalam sidang kabut asap di Palembang. Foto: Greenpeace/Abriansyah Liberto

Kesaksian Ahli

Selain itu, Andri sebagai saksi juga membeberkan tentang pertanggungjawaban mutlak atau strict liability dalam penegakan hukum lingkungan. Ini juga telah tertuang dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.

Dalam perkara ini, para penggugat menuntut pertanggungjawaban mutlak atas kerugian mereka akibat aktivitas para tergugat yang ditengarai memicu kabut asap berulang.

Andri mengatakan, kabut asap yang dipersoalkan lewat gugatan ini perlu dilihat dalam relasi kausalitas dengan kebakaran hutan dan lahan gambut. Ia juga menjelaskan tentang aktivitas berbahaya (dangerous activity) yang ditengarai telah dilakukan para tergugat sebagai penyebab kebakaran.

“Dengan strict liability, tergugat bisa dinyatakan bertanggung jawab apabila kebakaran hutan termasuk ke dalam risiko dari kegiatan atau usahanya,” ujar Andri.

BACA JUGA: Sidang Kasus Kabut Asap Tiga Korporasi di Sumsel Berlanjut

Menurutnya, pengeringan gambut dengan membangun kanal-kanal, seperti yang didalilkan penggugat, merupakan dangerous activity yang tidak bisa dikurangi risikonya, bahkan dengan tindakan kehati-hatian. Sebab, menimbulkan risiko dan peluang terjadinya kebakaran.

Saksi lainnya, Iman menerangkan tentang tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM. Ini merupakan salah satu pilar dalam prinsip-prinsip United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs).

“Pilar kedua UNGPs mengatur bahwa perusahaan memiliki responsibility to respect atau menghormati HAM. Perusahaan semestinya tahu bahwa pembuatan kanal yang mereka lakukan akan berdampak mengeringkan gambut, memicu kebakaran, hingga memicu kabut asap yang lantas merenggut hak masyarakat atas udara serta lingkungan yang bersih dan sehat,” kata Iman, yang mendalami topik hukum internasional serta bisnis dan HAM.

Menguatkan Argumen

Konsesi perusahaan kayu PT BMH, PT BAP, dan PT SBA Wood Industries ini berada di ekosistem Kesatuan Hidrologis Gambut Sungai Sugihan-Sungai Lumpur (KHG SSSL). Dalam kurun 2001-2020, luas area terbakar di tiga konsesi korporasi itu mencapai 473 ribu hektare. Jumlah tersebut setara dengan 92 persen dari total areal terbakar di KHG SSSL.

Dari angka tersebut, sebanyak 46 persen di antaranya atau 217 ribu hektare terjadi dalam periode 2015-2020. Kebakaran berulang terjadi setidaknya di area seluas 175 ribu hektare. Alih fungsi lahan gambut menjadi kebun hutan tanaman industri (HTI) telah berdampak mengikis keanekaragaman hayati dan cadangan karbon. Pada akhirnya, hal ini berujung memperparah pemanasan global.

Salah satu tim kuasa hukum penggugat, Sekar Banjaran Aji mengatakan bahwa di dalam gugatan ini, tim kuasa hukum menyoroti kerusakan ekosistem gambut yang punya dampak begitu besar. Kerusakan tersebut telah menimbulkan kebakaran hutan dan lahan, dengan dampak asap yang berbahaya. Bahkan, meluas dengan durasi yang lama dan kasus ini telah menyalahi hukum lingkungan serta merenggut hak asasi masyarakat Sumatra Selatan.

“Kesaksian ahli dan para pakar hukum yang kredibel serta independen makin menguatkan argumen kami bahwa para tergugat harus bertanggung jawab mutlak atas dampak kabut asap, akibat aktivitas berbahaya mereka mengeringkan gambut hingga memicu kebakaran,” kata Sekar.

Kawal Kasus Gugatan Asap

Bersama dengan saksi ahli, sejumlah penggugat dan anggota koalisi Inisiasi Sumatra Selatan Penggugat Asap (ISSPA) juga hadir. Mereka ikut mengawal jalannya persidangan kasus gugatan asap ini. Kompak mengenakan baju bertuliskan “Belum Merdeka dari Asap”, mereka kembali menunjukkan solidaritas untuk para korban asap di ruang sidang.

Selepas persidangan, belasan orang dari kelompok mahasiswa dan komunitas di Sumatra Selatan membentangkan banner bertuliskan “Belum Merdeka dari Asap”. Mereka juga membentangkan sejumlah poster di depan Pengadilan Negeri Palembang. Aksi ini sebagai bentuk dukungan untuk mengawal gugatan ini.

Dalam perkara ini, Greenpeace Indonesia menjadi penggugat intervensi. Mereka meminta majelis hakim menghukum ketiga tergugat untuk memulihkan lahan gambut yang rusak di lahan konsesi mereka.

Organisasi ini memohon hakim memerintahkan para tergugat menjamin tidak terjadi pengeringan gambut dan kebakaran lahan kembali. Mereka juga diminta mencegah penyebaran kabut asap dari dalam maupun sekitar areal izin agar tidak terjadi lagi.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top