LONDON, 21 November 2016 − Meski dirundung dengan ancaman kemunduran berkaitan dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS, para delegasi dari 197 negara berhasil keluar dengan resolusi yang menakjubkan untuk menahan dampak perubahan iklim pada perundingan di Maroko, yang berakhir Jumat lalu.
Apapun yang akan dilakukan oleh AS di bawah Presiden Trump, banyak negara, terutama negara berkembang, sudah merasakan dampak negatif dari perubahan iklim sehingga sulit untuk menghiraukan isu tersebut. Para politisi sudah memahami bahwa mereka perlu segera beradaptasi terhadap tingginya suhu udara, kekeringan dan kenaikan muka air laut untuk bisa bertahan hidup.
Sangat jelas terlihat di Maroko bahwa keseimbangan antara kekuasaan dan pengaruh dunia mulai bergeser, terutama menyangkut isu perubahan iklim.
Cina, yang hanya diam dan pengamat pasif lima tahun lalu, kini telah mengambil peran aktif dalam isu perubahan iklim. Negara tersebut mempertimbangkan masukan dari para ilmuwannya dengan serius dan paham bahwa masalah terkait dengan polusi udara dan perubahan iklim mampu menciptakan risiko politis.
Bahkan India, negara yang terus-menerus berkeyakinan bahwa perubahan iklim bukanlah masalah besar bagi mereka dan hanya berlaku di negara barat, sudah mulai merasakan ancamannya terhadap pembangunan.
Negara-negara Rentan
Deklarasi yang dicetuskan oleh 48 negara rentan bahwa mereka akan mencapai energi terbarukan sebesar 100 persen, antara tahun 2020 dan 2050, menjadi komitmen yang luar biasa dari perundingan tersebut. Komitmen ini mendahului ambisi dari negara-negara maju sekalipun.
Banyak yang mengatakan, terutama dari pihak organisasi sipil, perkembangan di Maroko masih belum cepat meski mengakui Kesepakatan Paris sebagai salah satu langkah maju. Hal ini ditujukan kepada negara-negara kaya yang seharusnya dapat menyediakan dana cukup untuk membantu negara-negara berkembang dalam beradaptasi dengan perubahan iklim.
Komitmen untuk bantuan tersebut, lanjut mereka, jauh lebih rendah dari $100 miliar hingga tahun 2020 yang dijadikan acuan pada Kesepakatan Paris.
Meski demikian, ada beberapa perjanjian dan inisiatif baru yang dihasilkan dari grup-grup yang sebelumnya tidak terepresentasikan. Artinya, aksi sudah mulai dilakukan oleh dunia untuk mengurangi emisi dan menahan suhu di bawah 1,5°C dari level sebelum masa industri.
Contohnya, komitmen yang dibuat oleh 165 pemerintahan sub-nasional, yaitu kota dan negara bagian AS, untuk mengurangi emisi hingga 80 persen pada tahun 2020.
Mereka mewakili hampir sepertiga ekonomi dunia dan memiliki total populasi satu miliar tinggal di Amerika Utara, Eropa, Amerika Latin, Afrika dan Asia. Satu negara bagian AS, California, menyatakan apabila Trump mundur dari Persetujuan Paris, kota tersebut akan mencari jalan lain untuk meratifikasinya sendiri.
Banyak negara yang sedang berupaya untuk mengurangi emisi dan menetapkan deadline pada tahun 2018 untuk mengimplementasikan Kesepakatan Paris.
Banyaknya perkembangan yang terjadi di Maroko membuat media resmi PBB bahkan sudah mengeluarkan hasil-hasil yang telah dicapai dari perundingan kali ini.
Hasil dari terpilihnya penyangkal perubahan iklim sebagai presiden mungkin akan terlihat pada perundingan selanjutnya, COP23, pada tahun 2017.
Fiji, salah satu negara rentan dengan perubahan iklim, akan menjadi tuan rumah pada COP23. Namun, karena minimnya sumber daya untuk menggelar konferensi besar, Jerman telah berjanji akan membantu. Fiji menjadi Tuan Rumah COP23 namun perhelatan akan digelar di Bonn, yang merupakan sekretariat konferensi perubahan iklim.
Sementara banyak negara yang berusaha meyakinkan pemerintah Trump untuk tidak mengingkari Kesepakatan Paris, beberapa organisasi berbasis di negara tersebut sudah bersiap-siap untuk mengantisipasi yang akan diambil presiden baru mereka.
Alden Meyer, direktur strategi dan kebijakan dari Union of Concerned Scientists, mengatakan “Berita baiknya adalah satu persatu negara di sini telah menegaskan bahwa mereka akan tetap mengimplementasikan dan memperkuat Kesepakatan Paris, apapun kebijakan yang akan diambil oleh pemerintahan Trump, apakah akan terus atau berhenti.”
“Tidak ada satu negara pun yang mengatakan bahwa jika Presiden Trump keluar dari Kesepakatan Paris, mereka akan mengikutinya. Sebaliknya, beberapa negara bagian AS, kota, dan perusahaan yang menegaskan keinginan mereka untuk tetap melakukan aksi iklim.”
Pernyataan yang dikeluarkan oleh Centre for Climate and Energy Solutions menyebutkan “Kesepakatan Paris telah meletakkan kerangka kerja pragmatis yang bisa mempertahankan kedaulatan negara mereka untuk menentukan kebijakan mereka sendiri sekaligus menyiapkan cara untuk bisa meminta pertanggungjawaban ke negara lainnya.”
“Kebijakan semacam ini yang sudah lama diadvokasi oleh para pembuat kebijakan AS. Meninggalkan persetujuan ini, tidak akan menguntungkan AS dari segi apapun.”
Dengan demikian, garis pertempuran sudah ditentukan dua bulan sebelum presiden baru akan berkantor. Meski demikian, Kesepakatan Paris merupakan momentum yang tidak bisa surut karena sudah 111 pemerintahan meratifikasinya, termasuk Inggris, Australia, Guatelama, Malaysia, Pakistan dan Tanzania.
Michael Brune, direktur eksekutif dari Sierra Club environmental organization, mengatakan bahwa “Kita sudah berjalan bersama untuk meyakinkan bahwa tidak ada satu negara ataupun pemimpin yang mempunyai kekuasaan untuk mengacaukan momentum ini. Sudah jelas bahwa perkembangan ini tidak bisa dicegah, meski di bawah ancaman Presiden terpilih, Trump.
Meski tanpa AS, akan semakin sulit bagi dunia untuk bisa mengurangi emisi dan beradaptasi dengan perubahan iklim.
Kesulitan Keuangan
Seperti biasa, salah satu masalah adalah uang. Membuat negara-negara kaya berkomitmen untuk membantu adaptasi dalam bentuk miliaran dolar sangatlah sulit, dan membuat mereka untuk mengeluarkannya jauh lebih sulit. Hal ini akan semakin menjadi tantangan apabila AS menolak untuk membantu.
Harjeet Singh, manajer kebijakan iklim internasional untuk ActionAid mengatakan bahwa “Isu keuangan menjadi penghambat. Meski beberapa negara menerima kontribusi keuangan, negara kaya masih tetap berupaya untuk mengelak dari komitmen mereka membantu negara miskin dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan menghijaukan ekonomi mereka.”
“Aksi iklim akan membutuhkan dana yang tidak dimiliki oleh negara miskin. Pesan yang diterima oleh negara-negara berkembang ini adalah ‘kalian sendirian.'”
“Saat planet ini mengalami tahun terpanasnya, Afrika mengalami kekeringan yang parah, keinginan negara-negara kaya untuk meninggalkan negara berkembang membuat aksi iklim kita mundur ke belakang justru saat kita membutuhkannya. Tanpa dukungan dana yang nyata dan pengurangan emisi dari negara kaya, planet ini tidak akan mempunyai kesempatan bertahan di bawah 1,5°C .” – Climate News Network