Aceh (Greeners) – Tim Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh kembali memasang satu unit GPS collar pada individu gajah liar yang berada di hutan sekitar desa Panca, pemukiman Gunung Biram, Kecamatan Lembah Seulawah, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, pada Jumat (30/11/2018) lalu. Pemasangan alat pelacak ini diharapkan bisa memberikan peringatan awal untuk gajah yang memasuki kawasan permukiman dan memberikan data yang efektif untuk pemetaan jalur gajah.
Kepala BKSDA Aceh Sapto Adji Prabowo mengatakan bahwa gajah betina yang dipasangkan kalung GPS ini sebelumnya dilaporkan masyarakat kepada pihak BKSDA karena sudah menampakkan diri di wilayah itu selama beberapa minggu dan dilaporkan terdapat luka di bagian pangkal ekornya yang sudah memburuk. Dilaporkan juga terdapat luka lain di bagian dada sebelah kiri.
“Kemarin kondisinya sudah baik, sudah pulih dari bius. Hari ini tim kami dengan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Aceh sedang ke lapangan untuk melakukan pengobatan ulang. Karena ada perawatan tiga hari setelah diberikan antibiotik harus dicek lagi. Selain diobati, gajah betina ini dipasangi GPS collar,” kata Sapto saat dihubungi Greeners pada Senin, (03/12/2018).
BACA JUGA: Pembaruan Dokumen Strategis Konservasi Gajah Perlu Kajian Matang
Sapto menyampaikan sejauh ini telah berhasil memasang 6 GPS collar yang tersebar di beberapa habitat penting gajah di Aceh. Saat ini empat diantaranya masih aktif dan memberikan informasi yang sangat penting terkait pola pergerakan gajah dan mengonfirmasi faktor hambatan alami yang mempengaruhinya. Saat ini diketahui ada beberapa kawasan yang sangat penting dan wajib dilakukan pengelolaan secara aktif untuk dapat menanggulangi konflik gajah secara permanen dan sekaligus sebagai langkah penting bagi upaya konservasi gajah.
“Sudah ada enam GPS yang kita pasang di enam kelompok gajah, yakni dua di Kabupaten Bener Meriah, satu di Kabupaten Pidie, satu di Aceh Utara, satu di Pidie Jaya, dan ini satu lagi kita pasang di Kabupaten Aceh Besar,” ujar Sapto.
Sapto mengatakan bahwa GPS collar ini memiliki fungsi sebagai sistem peringatan dini dengan mengirim sinyal ke server yang dikelola oleh BKSDA Aceh yang bekerjasama dengan Pusat Kajian Satwa Liar (PSKL) dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Aceh. Selain itu data yang dikirim ke server tersebut bisa digunakan untuk pemetaan jalur gajah sehingga akan berguna untuk keperluan penataan ruang.
“Jadi kalau ada gajah yang mendekati kampung kita bisa langsung merespon dan pemantauannya bisa di atur sesuai yang kita inginkan. Pemetaan jalur ini bisa kita ketahui juga dengan masa selama dua tahun kita bisa mengetahui jalur gajah ini di mana saja. Datanya bisa dipakai untuk keperluan penataan ruang nantinya,” jelas Sapto.
Sapto mengatakan bahwa pemasangan GPS collar ini juga untuk menghindari konflik satwa dengan masyarakat. Pemasangan GPS collar ini sudah dilakukan mulai dari tahun 2015 hingga saat ini, dan pemasangan ini akan terus dilakukan sampai tahun depan. Namun, pemasangan GPS ini juga bertahap karena kendala biaya dan prioritasnya baru ke satwa gajah.
“Pemasangan GPS collar ini oleh BKSDA Aceh sudah dilakukan sejak tahun 2015 dengan 2 GPS, akhir 2016 satu GPS, awal 2017 satu GPS. Tahun ini tadinya ingin memasang tiga GPS tapi ada beberapa kendala dan akan dipasang pada awal tahun depan,” ujar Sapto.
Sapto berharap upaya ini akan menjadi bagian dari solusi penting bagi masa depan konservasi gajah di Aceh. BKSDA sendiri juga telah melakukan pengadaan unit GPS collar untuk kebutuhan lainya, karena program pemasangan GPS collar ini diadopsi oleh Ditjen KSDAE sebagai salah satu model acuan yang dipilih untuk Aceh.
BACA JUGA: Akhirnya, Dua Pelaku Pembunuh Gajah Bunta Tertangkap
Berdasarkan siaran pers yang diterima oleh Greeners, monitor GPS collar ini juga dibantu oleh Pusat Kajian Satwa Liar (PKSL) dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Aceh. Dalam operasi ini PKSL FKH Unsyiah memposisikan diri untuk mendukung tugas BKSDA Aceh sebagai otoritas pengelolaan konservasi yang telah diberikan mandat untuk itu.
“Saat ini beberapa staf pengajar FKH lainnya membina langsung program wildlife ambulance ini diantaranya drh. Christopher Stremme, drh. Arman Sayuti, drh. Ryan Ferdian. Populasi gajah Gunung Biram Aceh ini wajib kita lestarikan, dan bisa jadi suatu saat gajah putih keturunan langsung dari ‘Biram Satani’ (Hantu Gunung Biram) akan terlahir kembali,” ujar Wahdi.
“Saya semula heran melihat sikap masyarakat daerah ini yang bukannya marah dengan kehadiran gajah ini karena menumbangkan beberapa pokok pepaya dan pisangnya. Malah ada beberapa masyarakat yang ingin mengobati langsung gajah tersebut dan telah menyiapkan obat semprot penangkal belatung di sepeda motornya kalau-kalau gajah memberikan akses,” kata Wahdi menambahkan.
Wahdi menjelaskan bahwa wilayah operasi di pemukiman Gunung Biram ini merupakan kawasan yang bernilai historis bagi gajah di Aceh. Pada masa kepemimpinan singkat Sultan Mughal yang berlangsung hanya dua bulan, terjadi huru hara yang mengakibatkan terbunuhnya raja pada tahun 1579 M. Banyak gajah milik raja tidak terurus dan lepas ke hutan termasuk gajah putih peliharaan raja.
Penulis: Dewi Purningsih