Jakarta (Greeners) – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menekankan pentingnya lompatan teknologi di sektor pertanian menghadapi dampak perubahan iklim.
Teknologi tersebut meliputi teknik pengamatan, pemodelan iklim dan cuaca melalui pemanfaatan remote sensing satelit dan radar. Optimalisasi teknologi tersebut merupakan langkah agar para petani dapat beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, perubahan iklim berdampak pada peningkatan cuaca dan iklim ekstrem. Kondisi ini berujung pada bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, hingga kekeringan berkepanjangan.
Ia menyebut berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 95 % bencana di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi yang menyebabkan rusaknya lahan pertanian hingga gagal panen.
“Karena perubahan iklim itu bisa memporak-porandakan keteraturan alam. Wilayah yang biasanya daerah tropis menjadi dingin, begitu juga sebaliknya dan ini berdampak pada pertanian,” katanya kepada Greeners, Senin (8/8).
Tingkatkan Literasi Pertanian
Perubahan iklim sangat nyata dapat masyarakat rasakan. Di Indonesia sebagai daerah tropis berada di zona ekuator seharusnya tak mengalami badai tropis. Akan tetapi, karena perubahan iklim maka suhu muka air laut semakin hangat dan justru badai ini tumbuh di dalam zona ekuator.
Ia menyebut, saat ini BMKG tengah meningkatkan pemanfaatan teknologi remote sensing satelit dan radar sebagai teknik pengamatan dan permodelan iklim dan prakiraan cuaca.
“Radar sangat efektif untuk memantau cuaca ekstrem sebagai dampak perubahan iklim. Sedangkan satelit dengan deret data yang panjang membantu analisa perubahan iklim daerah-daerah yang tidak terjangkau peralatan darat,” paparnya.
Selain itu, juga pemanfaatan artificial intelegence, big data, machine learning itu agar prakiraan prediksi kami menjadi lebih cepat, tepat dan akurat.
Selain teknologi, BMKG juga memperkuat kapasitas sumber daya manusia (SDM). Saat ini sekitar 70 % SDM BMKG berusia kurang dari 40 tahun. Ia akan terus menggenjot peningkatan SDM dengan menargetkan hingga 2030 nanti setidaknya ada 500 doktor baru.
BMKG juga terus menerus memberikan edukasi dan literasi pada petani dan masyarakat terkait info-info perkiraan prediksi agar mereka bisa beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Program literasi dan edukasi ini telah BMKG lakukan sejak tahun 2011. Dalam hal ini BMKG terus bekerja sama dengan Kementerian Pertanian, Dinas Pertanian, serta penyuluh pertanian.
Ancaman Serius Tujuh Tahun Terakhir
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta agar BMKG serius menangani penanggulangan perubahan iklim. Ia menyorot adanya peningkatan suhu dalam kurun waktu 7 tahun ini yang berimbas pada sektor pertanian.
Jokowi menyatakan saat ini, dunia tengah menghadapi tantangan perubahan iklim pada kondisi kritis. World Meteorological Organization menyatakan indikator perubahan iklim dan dampaknya pada tahun 2021 makin memburuk.
“Tujuh tahun terakhir telah menjadi 7 tahun dengan suhu terpanas. Kondisi ini menjadi tantangan nyata bagi kita,” kata Jokowi.
Dampak dari perubahan iklim sangat nyata terhadap sektor pertanian dan pangan. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan lebih dari 500 juta petani usaha kecil yang memproduksi lebih dari 80 persen sumber pangan dunia merupakan kelompok yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
Sebanyak 13 juta orang diprediksi kelaparan karena terhambatnya rantai pasok dunia akibat perang Rusia-Ukraina. “Hati-hati, ini persoalan yang sangat serius, perlu penanganan yang komprehensif, perlu antisipasi sedini mungkin, secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya,” tegas dia.
Lakukan Upaya Ketahanan Pangan
Sementara itu pakar lingkungan Universitas Indonesia Mahawan Karuniassa menyatakan, berdasarkan laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB akan terjadi penurunan produktivitas dalam sektor pertanian akibat perubahan iklim.
Ia menyatakan, tanaman padi sangat rentan terhadap kekurangan maupun kelebihan air. Oleh karena itu, ia menyebut perlunya pengembangan diversifikasi berupa varietas tanaman yang tahan terhadap perubahan iklim. “Kalau bisa yang tahan cuaca, baik cuaca kering maupun hujan,” ucapnya.
Akan tetapi, pengembangan varietas subsitusi tanaman pangan ini tidak boleh asal dan harus mempertimbangkan kondisi geografis di wilayahnya. “Misalnya kalau memang cocok tanam sagu maka tidak perlu diganti dengan padi atau tanaman lain. Karena yang kita butuhkan juga ketahanan tanaman juga,” paparnya.
Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menyoroti ketersampaian informasi terkait perkiraan iklim dan cuaca pada para petani. “Apakah informasi iklim berguna dan sampai ke para nelayan dan petani? Dalam konteks ini penting sekali peran sekolah lapang iklim,” ungkapnya.
Menurut Khudori, para petani harus dapat bimbingan untuk menerjemahkan informasi iklim dan cuaca menjadi informasi pola tanam secara langsung. Misalnya, jika tiga bulan ke depan hujan sangat deras maka pola tanam seperti apa yang anti gagal.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin