Jakarta (Greeners) – Hari Pangan Sedunia yang dirayakan setiap tanggal 16 Oktober, pada tahun ini akan mengangkat tema pertanian keluarga, bagaimana menyediakan pangan untuk menjaga kelestarian bumi.
Untuk mencapai hal tersebut, Aliansi Desa Sejahtera (ADS) memberikan beberapa masukan dan tantangan kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla. Koordinator Pokja Beras ADS, Said Abdullah, menjabarkan beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh pemerintahan kedepan jika memang ingin memprioritaskan kebijakan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan meningkatkan ketersediaan pangan dalam negeri.
“Meningkatnya impor pangan dan menurunnya jumlah produsen pangan skala kecil serta semakin menyempitnya luasan lahan produksi pangan hanya beberapa dari banyaknya tantangan yang harus dihadapi oleh Joko Widodo nanti,” terang Said di Jakarta, Rabu (15/10).
Selain itu, lanjutnya, menurunnya produksi pangan dalam negeri, meningkatnya jumlah penduduk dan tidak adanya kebijakan nasional untuk membangun kedaulatan pangan yang memberikan perlindungan bagi para produsen pangan skala kecil akan menjadi fokus yang terus dikawal oleh ADS.
Sedangkan untuk ditingkat konsumsi, Koordinator Pokja Sawit ADS, Ahmad Surambodo, menuturkan, jika pemerintahan Jokowi mampu mengembangkan industri pengolahan pangan yang dikuasai oleh industri kecil berbasis masyarakat sekitar, maka hal tersebut akan menjadi salah satu cara untuk mengatasi tingkat konsumsi pangan masyarakat.
Ahmad menyatakan, jika melihat kondisi saat ini, sangat ironis melihat luasan perkebunan sawit yang terus bertambah luas, sementara industri olahannya sama sekali tidak berkembang.
“Sekarang Indonesia mengimpor berbagai jenis olahan berbasis sawit untuk konsumsi masyarakat sehari-hari,” imbuhnya.
Dari sisi lain, menurut Ahmad, tren yang terjadi saat ini adalah adanya kompetisi perebutan lahan untuk pangan dan sawit tanpa adanya data dan penelitian untuk mengetahui seberapa besar jumlah kecukupan kita untuk membangun lahan pangan dan sawit. Ahmad menilai hal ini sangat berbahaya bagi kelangsungan lahan masyarakat.
“Kompetisi ini tidak mempertimbangkan seberapa besar kecukupan kita untuk membangun sawit atau lahan pangan, akhirnya terjadi ketimpangan lahan di mana-mana,” tutupnya.
(G09)