Jakarta (Greeners) – Keterlibatan penyandang disabilitas dalam penyusunan kebijakan perubahan iklim sangat penting mengingat mereka lebih rentan terhadap dampaknya. Tanpa melibatkan partisipasi penyandang disabilitas, hasil kebijakan dinilai tidak akan inklusif dan tidak memenuhi kebutuhan mereka.
Saat ini, DPR RI tengah merancang RUU Pengelolaan Perubahan Iklim dan masuk dalam Prolegnas 2025. Oleh karena itu, penyandang disabilitas harus menjadi prioritas agar kebijakan tersebut mengakomodasi semua kelompok, terutama yang paling rentan.
Penyandang disabilitas menghadapi hambatan seperti keterbatasan akses informasi, dan infrastruktur darurat yang tidak ramah. Tanpa kebijakan inklusif, mereka semakin rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Syaharani, menegaskan pentingnya pengakuan terhadap kelompok rentan ini dalam proses pembuatan kebijakan. Sehingga, hasil kebijaka dapat lebih responsif dan memenuhi kepentingan mereka.
BACA JUGA: FPCI Serahkan Rekomendasi Kebijakan Perubahan Iklim kepada Prabowo Subianto
“Dengan mengakui bahwa teman-teman penyandang disabilitas memiliki kerentanan yang beragam dan juga kepentingan dalam pengambilan keputusan, proses deliberasi suatu keputusan atau kebijakan dapat lebih aware dan inklusif untuk mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan teman-teman penyandang disabilitas,” ungkap Syaharani kepada Greeners lewat keterangan tertulisnya, Rabu (11/12).
Klausul khusus dalam RUU harus mengakui hak-hak penyandang disabilitas dan melibatkan mereka dalam penyusunan serta implementasi kebijakan perubahan iklim. Ini termasuk menyediakan akses informasi yang dapat mereka pahami serta melibatkan mereka dalam konsultasi dan dialog berkelanjutan.
Penting juga untuk mengintegrasikan kerentanan mereka dalam dokumen perencanaan iklim Indonesia seperti National Adaptation Plan (NAP). Selain itu, memastikan aksesibilitas serta kesempatan partisipasi mereka dalam aksi iklim. Ini mencakup pendidikan yang aksesibel, peningkatan kapasitas, serta pendanaan yang memungkinkan mereka berperan aktif dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Dalam konteks adaptasi perubahan iklim, pemerintah harus merancang sistem peringatan dini, infrastruktur darurat bencana, dan langkah evakuasi agar penyandang disabilitas dapat mengaksesnya. Sehingga, mereka tidak ditinggalkan ketika terjadi dampak.
Tantangan dalam Keterlibatan Penyandang Disabilitas
Sementara itu, Koordinator Advokasi Perhimpunan Jiwa Sehat, Nena Hutahaean, menyatakan hingga kini penyandang disabilitas atau organisasi disabilitas belum terlibat dalam penyusunan kebijakan lingkungan, khususnya terkait perubahan iklim. Padahal, mereka merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti bencana alam, gelombang panas, dan kenaikan permukaan air laut.
“Partisipasi aktif bermakna untuk mereka dalam perumusan kebijakan keadilan iklim masih menghadapi tantangan besar. Hal ini karena minimnya pemahaman penyusun kebijakan, baik pemerintah maupun legislatif terkait penyandang disabilitas,” kata Nena.
Kebutuhan atas aksesibilitas dan akomodasi yang layak untuk berpartisipasi secara bermakna juga belum menjadi prioritas dalam kebijakan. Di samping itu, ada masalah tokenisme, di mana penyandang disabilitas dari berbagai ragam dianggap tidak dapat terlibat aktif. Akibatnya, suara mereka sering kali hanya diwakili oleh satu kelompok disabilitas saja.
Padahal, pengalaman hidup sebagai penyandang disabilitas hanya bisa mereka pahami sendiri, sehingga suara mereka tidak bisa terwakilkan kelompok masyarakat lain. Tanpa keterlibatan mereka, kesempatan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim menjadi terbatas, yang berujung pada rendahnya angka harapan hidup penyandang disabilitas.
BACA JUGA: Indonesia Perlu Segera Menyusun RUU Perubahan Iklim
Di samping itu, kesadaran di kalangan pembuat kebijakan untuk melibatkan mereka dalam isu lingkungan dan perubahan iklim masih terbatas. Penelitian beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat di Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa 93% penyandang disabilitas, tidak pernah terlibat dalam kegiatan adaptasi perubahan iklim di desa mereka.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial juga melaporkan hal yang serupa. Dalam laporan itu, banyak penyandang disabilitas tidak diikutsertakan dalam perencanaan penanggulangan, kesiapsiagaan, maupun adaptasi perubahan iklim.
Pastikan Pelibatan Semua Ragam Disabilitas
Ia menegaskan bahwa hal yang penting adalah memastikan pelibatan penyandang disabilitas dari setiap ragam. Seperti disabilitas fisik, sensorik (tuli, netra), mental, intelektual, dan ganda. Pelibatan ini harus tercapai secara bermakna di setiap tahap, mulai dari konsultasi hingga implementasi.
Hal ini sangat penting karena masing-masing ragam memiliki kebutuhan, hambatan, dan tantangan berbeda yang tidak dapat diwakili oleh salah satu ragam. Bahkan, oleh non-disabilitas yang jelas tidak pernah mengalami dan merasakan.
“Selain itu, sangatlah penting untuk mendapatkan gambaran utuh terkait akomodasi yang layak dan dibutuhkan oleh masing-masing ragam. Ini sejalan dengan prinsip “Nothing About Us Without Us”, yang menjamin adanya pelibatan masing-masing ragam dalam advokasi kebijakan,” ungkapnya.
Maka dari itu, penting pelibatan penyandang disabilitas yang beragam serta menyediakan aksesibilitas dan akomodasi yang layak sesuai ragam disabilitas. Tanpa kedua hal ini, mereka akan kesulitan berpartisipasi secara bermakna.
Perkuat OPD dalam Forum
Nena menegaskan bahwa ada beberapa cara agar suara disabilitas lebih didengar. Salah satunya adalah dengan memperkuat peran Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) dalam berbagai diskusi dan forum.
OPD merupakan jembatan untuk mempertemukan penyandang disabilitas dengan pemangku kebijakan dan dapat menjadi mitra strategis untuk merumuskan kebijakan. Misalnya, dalam forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) atau pada saat proses Penyusunan Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas (RAN PD).
Pemerintah perlu menyediakan informasi perubahan iklim dalam format yang aksesibel bagi penyandang disabilitas, seperti braille, audio, dan bahasa isyarat. Mereka juga harus melibatkan penyandang disabilitas sejak tahap perencanaan kebijakan untuk memastikan kebijakan yang inklusif.
Pemerintah, organisasi disabilitas, dan masyarakat sipil perlu berkolaborasi untuk mengembangkan program adaptasi perubahan iklim yang responsif. Selain itu, pelatihan tentang perubahan iklim bagi penyandang disabilitas akan memberdayakan mereka untuk berpartisipasi aktif dalam upaya mitigasi dan adaptasi.
“Harapan terkait keterlibatan penyandang disabilitas dalam kebijakan perubahan iklim seharusnya tidak hanya berfokus pada inklusi formal, tetapi pada transformasi sistemik yang mengakui penyandang disabilitas sebagai agen perubahan aktif,” imbuhnya.
Menurut Nena, mewujudkan keterlibatan penyandang disabilitas dalam kebijakan perubahan iklim membutuhkan transformasi mendalam. Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil tidak hanya menciptakan ruang inklusif, tetapi juga perlu mendukung penyandang disabilitas untuk menjadi pelopor dalam merancang masa depan yang berkelanjutan.
“Hanya dengan pendekatan yang kritis dan revolusioner ini, tujuan keberlanjutan sejati dapat tercapai,” ungkapnya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia