Jakarta (Greeners) – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat setidaknya ada sembilan orang masyarakat adat yang menjadi korban kriminalisasi pemerintah yang terjadi sepanjang tahun 2014.
Sekretaris Jendral AMAN, Abdon Nababan, menjelaskan, pada 24 April 2014 lalu, empat orang masyarakat adat Semende, Dusun Banding Agung, Bengkulu, dijatuhi hukuman tiga tahun penjara dan denda sebesar Rp 1,5 milyar oleh pengadilan Negeri Bintuhan di Kabupaten Kaur, Bengkulu.
Kemudian, pada tanggal 21 Oktober 2014, Pengadilan Negeri Palembang di Sumatera Selatan juga menjatuhkan hukuman penjara selama 2,6 tahun dengan denda Rp 50 juta kepada M. Nur Jafar, salah seorang penduduk dari masyarakat adat suku Tungkal Ulu.
“Selain Jafar, ada lima orang dari masyarakat adat Tungkal Ulu yang dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Palembang karena dianggap telah melanggar UU P3H (Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan),” jelas Abdon pada pemaparan Catatan Akhir Tahun AMAN 2014 dan Peluncuran Peta Wilayah Adat di Jakarta, Senin (22/12).
Banyaknya kriminalisasi yang dilakukan oleh negara sepanjang tahun 2014 tersebut, menurut Abdon, lebih dikarenakan sikap negara yang masih belum sepenuhnya mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat.
Abdon mengatakan ketidaksiapan negara tersebut bisa terlihat dari gagalnya kerja dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2009-2014 dalam mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) menjadi UU.
“Selama RUU PPMHA belum disahkan, maka kriminalisasi terhadap masyarakat hukum adat berpotensi akan terus terjadi,” ujarnya.
Abdon juga berharap untuk tahun 2015 mendatang Presiden Joko Widodo segera membentuk Unit Kerja Presiden untuk urusan masyarakat adat. Sejalan dengan itu, DPR pada periode 2014-2019 juga segera mengesahkan RUU PPMHA menjadi UU Masyarakat Adat.
“Harapan tinggi terletak di tangan Pak Joko Widodo agar tidak ada lagi kriminalisasi yang terjadi menimpa masyarakat adat,” tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, Agus Haryadi dari Kementerian Hukum dan HAM mengatakan bahwa RUU perlindungan masyarakat adat harus masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) agar nantinya masalah pembahasan RUU PPMHA bisa diatur waktu pembahasannya.
“Kalau sudah masuk Prolegnas nanti kan mudah bisa dibahas pada tahun 2015, 2016 atau 2017, yang penting RUU ini masuk dulu di Prolegnas,” pungkasnya.
(G09)