Jakarta (Greeners) – Pemulihan pascabencana yang terjadi di kabupaten Sigi, Donggala dan Parigi Moutong dan Kota Palu di Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 lalu mencapai Rp 23,14 triliun. Akibat bencana gempabumi, tsunami dan likuifaksi yang melanda wilayah itu, diperlukan anggaran hingga Rp36 triliun untuk membangun kembali Sulteng.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo mengatakan pembangunan kembali atau rehabilitasi dan rekonstruksi di Sulteng menyasar pada berbagai sektor, mulai dari perumahan, infrastruktur, sosial hingga sektor ekonomi.
BACA JUGA: Rencana Induk Pemulihan Sulteng Diserahkan ke Wapres
Berdasarkan data Pemerintah Provinsi Sulteng per 30 Januari 2019, jumlah korban meninggal dan hilang mencapai 4.402 jiwa, dimana 2.685 jiwa meninggal dunia, 701 jiwa hilang dan 1.016 jiwa korban dikubur massal. Jumlah korban meninggal di Palu terbanyak yaitu Palu 3.679 jiwa, kemudian Sigi 405 jiwa, Donggala 303 jiwa, dan Parigi Moutong 15 jiwa.
Kerusakan rumah dengan kategori rusak ringan, sedang, berat dan hilang mencapai 100.405 unit. Angka tertinggi untuk kerusakan rumah terjadi di Palu, yaitu 42.864 unit. Pada sektor pendidikan, jumlah kerusakan bangunan sekolah mencapai 1.299 bangunan di Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong. Hingga saat ini, Pemprov Sulteng masih berada pada fase transisi darurat ke pemulihan yang nanti akan berakhir pada 24 April 2019.
“Perkembangan tahap pembangunan perumahan masih berfokus pada huntara (hunian sementara) yang berada di beberapa titik. Saat ini pembangunan huntara mencapai 629 unit di 69 lokasi, namun jumlah unit yang dihuni sebanyak 406 unit,” kata Doni dalam Rapat Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Sulawesi Tengah di Graha BNPB, Jakarta, Jumat (12/04/2019).
BACA JUGA: Pascabencana Sulteng, Korban Selamat Mulai Memulihkan Diri
Sementara itu, sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2018 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sulawesi Tengah menargetkan masa pemulihan hingga 31 Desember 2020. Namun dalam implementasinya timbul beberapa kendala diantaranya sebagian masyarakat belum bersedia menempati hunian sementara (huntara) karena lokasi jauh dari tempat tinggal semula, keterbatasan pasokan listrik dan air bersih, dan kendala status tanah pada rencana pembangunan hunian tetap (huntap) di lahan relokasi.
Terhadap permasalahan ini Doni menyatakan bahwa pemerintah pusat tidak akan membangun jika pemerintah daerah tidak menyediakan lahan. Pemda juga diminta untuk memperhatikan informasi kebencanaan agar tidak membangun di area zona merah.
“Setelah lahan clean and clear barulah bisa dibangun untuk meminimalkan masalah di masa yang akan datang. Selain itu terus diingatkan agar wilayah pembangunan memperhatikan informasi kebencanaan. Karena bencana ini adalah peristiwa yang berulang, masyarakat yang bertahan di lokasi bencana perlu edukasi dan sosialisasi tentang kebencanaan secara masif dan door to door kepada masyarakat,” ujar Doni di hadapan perwakilan kementerian/lembaga terkait.
Gempa Masih Menghantui Sulteng
Seperti yang disampikan Doni bahwa bencana di Sulteng ini adalah bencana berulang, pada 12 April 2019 pukul 18.40 WIB gempa bumi dengan kekuatan 6,8 SR mengguncang wilayah Kabupaten Morowali, Morowali Utara, dan Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah. Episenter gempa pada koordinat 1,89 LS dan 122,57 BT, tepatnya di Teluk Tolo, pada jarak 82 kilometer arah barat daya Kepulauan Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah dengan kedalaman 17 kilometer. Masyarakat dilaporkan sempat panik dan mengungsi di di bukit-bukit atau di daerah yang tinggi.
BMKG menyatakan bahwa dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenter, gempa ini merupakan jenis dangkal akibat aktivitas sesar aktif. BMGK menduga bahwa struktur sesar yang menjadi pembangkit gempa ini adalah Sesar Peleng yang jalurnya berarah barat daya-timut laut di Pulau Peleng dan menerus ke Teluk Tolo.
Penulis: Dewi Purningsih