Suku Awyu dan Moi Serukan Penyelamatan Hutan Adat Papua

Reading time: 3 menit
Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan suku Moi mendatangi gedung Mahkamah Agung. Foto: Greenpeace Indonesia
Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan suku Moi mendatangi gedung Mahkamah Agung. Foto: Greenpeace Indonesia

Jakarta (Greeners) – Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan suku Moi mendatangi gedung Mahkamah Agung di Jakarta Pusat pada Senin, (27/5). Lewat aksi damai ini, masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi berharap Mahkamah Agung menjatuhkan putusan hukum yang melindungi hutan adat mereka.

Mengenakan busana khas suku masing-masing, mereka menggelar doa dan ritual adat di depan kantor lembaga peradilan tertinggi itu. Aksi diiringi juga dengan solidaritas mahasiswa Papua dan sejumlah organisasi masyarakat sipil.

“Kami datang menempuh jarak yang jauh, rumit, dan mahal dari Tanah Papua ke Ibu Kota Jakarta, untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan,” kata Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu saat aksi di Jakarta.

Masyarakat adat suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya sama-sama tengah terlibat gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka. Gugatan keduanya kini sampai tahap kasasi di Mahkamah Agung.

Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan suku Moi mendatangi gedung Mahkamah Agung. Foto: Greenpeace Indonesia

Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan suku Moi mendatangi gedung Mahkamah Agung. Foto: Greenpeace Indonesia

Gugat Pemerintah Provinsi Papua

Hendrikus menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). PT IAL mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare. Luas tersebut ebih dari setengah luas DKI Jakarta dan berada di hutan adat marga Woro–bagian dari suku Awyu.

Namun, gugatan Hendrikus kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua. Kini, kasasi di Mahkamah Agung adalah harapannya yang tersisa untuk mempertahankan hutan adat yang telah menjadi warisan leluhurnya dan menghidupi marga Woro turun-temurun.

BACA JUGA: Klaim Hutan Adat Terkendala Regulasi

Selain kasasi perkara PT IAL ini, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama (KCP) dan PT Megakarya Jaya Raya (MJR). Dua perusahaan sawit tersebut juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel. PT KCP dan PT MJR, yang sebelumnya kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, mengajukan banding dan dimenangkan oleh hakim PTUN Jakarta.

“Kami sudah cukup lama tersiksa dengan adanya rencana sawit di wilayah adat kami. Kami ingin membesarkan anak-anak kami melalui hasil alam. Sawit akan merusak hutan kami, kami menolaknya,” kata perempuan adat Awyu, Rikarda Maa.

Suku Moi Lawan Perusahaan Sawit

Adapun sub suku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS). Perusahaan tersebut akan membabat 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit. Sebelumnya, PT SAS telah memegang konsesi seluas 40 ribu hektare di Kabupaten Sorong.

Selanjutnya, pada 2022, pemerintah pusat mencabut izin pelepasan kawasan hutan PT SAS, disusul dengan pencabutan izin usaha. Tak terima dengan keputusan tersebut, PT SAS menggugat pemerintah ke PTUN Jakarta.

BACA JUGA: Dana Global Climate Fund Bisa Perkuat Hak Masyarakat Adat

Perwakilan masyarakat adat Moi Sigin pun melawan dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023. Setelah hakim menolak gugatan itu awal Januari lalu, masyarakat adat Moi Sigin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 3 Mei 2024.

“Saya mendesak Mahkamah Agung memberikan keadilan hukum bagi kami masyarakat adat. Hutan adat adalah tempat kami berburu dan meramu sagu, hutan adalah apotek bagi kami, kebutuhan kami semua ada di hutan. Keberadaan PT SAS sangat merugikan kami masyarakat adat. Kalau hutan adat kami hilang, mau ke mana lagi kami pergi?” kata perwakilan masyarakat adat Moi Sigin yang menjadi tergugat intervensi, Fiktor Klafiu.

Perusahaan Sawit Merusak Hutan

Keberadaan perusahaan sawit PT IAL dan PT SAS akan merusak hutan. Padahal, hutan menjadi sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya, dan pengetahuan masyarakat adat Awyu dan Moi. Hutan tersebut juga habitat bagi flora dan fauna endemik Papua. Bahkan, hutan menjadi penyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar.

Operasi PT IAL dan PT SAS dikhawatirkan memicu deforestasi yang akan melepas 25 juta ton CO2e ke atmosfer. Bahkan, telah memperparah dampak krisis iklim di tanah air.

“Kami meminta Mahkamah Agung cermat memeriksa perkara gugatan suku Awyu dan Moi, melihat kepentingan pelindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat, serta mengeluarkan putusan kemenangan untuk suku Awyu dan Moi,” ujar anggota tim kuasa hukum suku Awyu dan Moi dari Pusaka Bentala Rakyat, Tigor Hutapea

Menurut Tigor, majelis hakim perlu mengedepankan aspek keadilan lingkungan dan iklim. Aspek tersebut dampaknya bukan hanya suku Awyu dan suku Moi akan rasakan. Masyarakat Indonesia lainnya juga akan terdampak permasalahan tersebut.

Suku Awyu dan Moi telah melewati proses yang rumit demi mempertahankan hutan adat mereka. Meski putusan pengadilan yang mereka terima sebelumnya tak sesuai harapan, mereka tak berhenti menempuh langkah hukum.  Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua pun mengajak publik untuk terus menyuarakan dukungan terhadap perjuangan suku Awyu dan Moi.

“Perjuangan suku Awyu dan Moi adalah upaya terhormat demi hutan adat, demi hidup anak-cucu mereka hari ini dan masa depan, dan secara tidak langsung kita semua,” ungkap juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji.

Greenpeace juga mengajak publik untuk mendukung perjuangan suku Awyu dan Moi. Publik perlu ikut menyuarakan penyelamatan hutan Papua yang menjadi benteng dalam menghadapi krisis iklim.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top