Suku Awyu dan Moi Serahkan Petisi Dukungan Publik ke MA

Reading time: 3 menit
Suku Awyu dan Moi menyerahkan petisi dukungan publik ke MA. Foto: Greenpeace Indonesia
Suku Awyu dan Moi menyerahkan petisi dukungan publik ke MA. Foto: Greenpeace Indonesia

Jakarta (Greeners) – Pejuang lingkungan hidup dari masyarakat adat Awyu dan Moi Sigin kembali menyambangi gedung Mahkamah Agung (MA) pada Senin (22/7). Kedatangan kali kedua ini mereka menyerahkan petisi dukungan publik untuk selamatkan hutan Papua ke Mahkamah Agung (MA).

Sejumlah publik figur, komunitas, kelompok anak muda, hingga masyarakat sipil ikut menyerahkan petisi ini. Mereka membawa banner dan poster bertuliskan sejumlah pesan, seperti “All Eyes on Papua”.

Rombongan ini berkunjung ke MA dengan dua agenda, yaitu menyerahkan petisi dukungan untuk perjuangan masyarakat adat suku Awyu dan Moi Sigin. Kemudian, mereka juga mempertanyakan perkembangan perkara kasasi yang pejuang lingkungan hidup ajukan dari suku Awyu dan subsuku Moi Sigin ke MA. Perkara itu telah diajukan masing-masing pada Maret dan awal Mei lalu.

BACA JUGA: Klaim Hutan Adat Terkendala Regulasi

“Hingga hari ini, kami belum mendapatkan informasi tentang nomor registrasi perkara kasasi yang kami daftarkan ke MA. Kami ingin menanyakan kepada Mahkamah, bagaimana perkembangan gugatan kami, apakah Mahkamah memprosesnya atau tidak? Kami sampai dua kali datang jauh-jauh dari Papua, ini karena kami menunggu-nunggu putusan yang menyelamatkan hutan adat kami,” kata pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro, saat aksi di depan kantor MA, Senin (22/7).

Suku Awyu dan Moi menyerahkan petisi dukungan publik ke MA. Foto: Greenpeace Indonesia

Suku Awyu dan Moi menyerahkan petisi dukungan publik ke MA. Foto: Greenpeace Indonesia

Perusahaan Sawit Kantongin Izin Lingkungan

Gugatan Hendrikus menyangkut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). Perusahaan sawit ini mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare. Luas hutan tersebut lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro—bagian dari suku Awyu.

Selain kasasi perkara PT IAL ini, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya. Dua perusahaan sawit itu sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel, atas keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Putusan MA akan menentukan nasib hutan hujan seluas 65.415 hektare di konsesi PT KCP dan PT MJR.

253 Ribu Orang Dukung Suku Awyu dan Moi Lewat Petisi

Adapun sub suku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat untuk perkebunan sawit. PT SAS menggugat pemerintah pusat karena mencabut izin pelepasan kawasan hutan dan izin usaha mereka. Masyarakat Moi Sigin melawan dengan menjadi tergugat intervensi dalam perkara tersebut.

Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Tigor Hutapea mengatakan bahwa sebanyak 253.823 orang ikut tanda tangan dalam petisi dukungan untuk suku Awyu dan Moi.

Menurut Tigor, gerakan #AllEyesOnPapua yang viral beberapa saat lalu menjadi bukti kepedulian banyak orang pada perjuangan orang Awyu dan Moi. Salah satu perempuan adat Moi Sigin, Diana Klafiyu berterima kasih atas dukungan yang mengalir untuk perjuangan mereka.

“Saya merasa senang dengan dukungan dari semua orang yang sudah menandatangani petisi mendukung kami suku Moi dan suku Awyu. Harapan saya, semoga hakim mengambil keputusan mendukung kami masyarakat adat suku Moi dan suku Awyu,” ujarnya.

Generasi Muda Perlu Perhatikan Isu Lingkungan

Sementara itu, pemilik siniar (podcast) Sabda Bumi, Kiki Nasution, mengungkapkan alasannya ikut menandatangani petisi untuk mendukung perjuangan suku Awyu dan subsuku Moi Sigin. Menurut Kiki, generasi muda mesti memperhatikan keterkaitan isu kerusakan lingkungan dengan isu-isu lainnya, seperti ketidakadilan terhadap masyarakat adat.

“Dulu saya melihat perubahan iklim itu semacam hitam-putih, dengan tidak memakai plastik itu sudah menyelamatkan bumi. Namun, setelah belajar dari masyarakat adat, saya baru sadar bahwa perubahan iklim itu isu yang interseksional, berhubungan dengan kesenjangan dan berbagai ketidakadilan lainnya,” kata Kiki, yang dikenal di media sosial dengan nama akun @kikitube.

Kiki menambahkan, wilayah adat yang akan diambil dari suku Awyu dan Moi cukup luas, dengan cadangan karbon yang juga besar. Apabila masyarakat tidak menghentikannya, dampaknya akan ke mana-mana.

MA Berkomitmen Lakukan Perlindungan Lingkungan

Bagi masyarakat Awyu dan Moi Sigin, hutan adat adalah warisan leluhur yang menghidupi mereka turun-temurun. Mereka bergantung kepada hutan yang menjadi tempat berburu dan ‘supermarket’ untuk berbagai sumber makanan hingga obat-obatan. Hutan juga merupakan identitas sosial dan budaya mereka sebagai masyarakat adat.

Anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dari Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji mengatakan, menyelamatkan  hutan Papua bakal memperkuat benteng dalam menghadapi krisis iklim dan kepunahan biodiversitas. Selain itu, juga menjaga kekayaan alam, sosial, dan budaya dalam peradaban ini.

“Hari ini kita menyaksikan solidaritas mengalir begitu deras untuk Papua. Selanjutnya, giliran Mahkamah Agung menggunakan keyakinan dan hati nuraninya berpihak pada masyarakat adat dan hutan Papua,” kata Sekar.

BACA JUGA: Suku Awyu dan Moi Serukan Penyelamatan Hutan Adat Papua

Dalam aksi tersebut, perwakilan masyarakat adat Awyu dan Moi menyerahkan secara langsung petisi dukungan publik kepada lima hakim dari Biro Hubungan Masyarakat MA. Menurut Tigor Hutapea, para hakim tersebut menyampaikan akan meneruskan petisi ini kepada hakim agung di kamar Tata Usaha Negara.

“Mereka menyatakan MA sudah berkomitmen melindungi lingkungan hidup, termasuk juga melindungi masyarakat adat. Hakim juga akan mencoba menerapkan PMA Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Ini sedikit kabar baik. Semoga perkara yang sedang ditelaah membuahkan hasil baik untuk masyarakat adat dan masa depan hutan Papua,” ujarnya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top