Jakarta (Greeners) – Perubahan iklim tak sekadar membuat panasnya bumi karena kenaikan suhu. Tetapi, turut memperparah dampak potensi penularan penyakit antarmanusia. Diperkirakan 5 hingga 10 tahun ke depan perubahan iklim menyebabkan kematian sebanyak 250 ribu orang per tahun.
Ahli kesehatan lingkungan Dicky Budiman mengatakan, perubahan iklim yang dapat memicu efek gas rumah kaca menyebabkan bumi semakin panas. “Ini berujung pada peningkatan penularan penyakit, terbatasnya kebutuhan manusia hingga akses kesehatan,” katanya kepada Greeners, Rabu (31/8).
Ia memperkirakan hal ini bisa menyebabkan kematian hingga 250 ribu orang per tahun pada 5 hingga 10 tahun mendatang. Selain itu, perubahan iklim berimbas pada beban biaya kesehatan hingga US$ 4 miliar per tahun pada tahun 2030 nanti.
Pakar epidemiolog ini menyatakan, panasnya bumi karena kenaikan suhu, turut meningkatkan penyebaran vektor ke berbagai wilayah. Misalnya, nyamuk yang dapat meningkatkan penyakit. Pada era sebelum tahun 1980-an penyakit karena vektor nyamuk hanya ada di kurang dari 10 negara di dunia.
Namun saat ini penyakit-penyakit vektor nyamuk menjadi endemik seiring luasnya jangkauan geografis mereka. Nyamuk tak hanya menyebabkan demam berdarah, tapi juga chikungunya hingga penularan virus zika.
“Vektor ini membawa penyakit ke wilayah yang sebelumnya tak ada risiko, seperti di Nepal. Padahal dataran tinggi tapi sekarang nyamuk sudah ada di sana,” imbuhnya.
Suhu Naik 1,5 Derajat Celcius Kurun Waktu 20 Tahun Tandai Perubahan Iklim
Perubahan iklim terjadi bila suhu rata-rata telah melewati ambang batas pemanasan hingga 1,5 derajat Celsius dalam kurun waktu 20 tahun. Peningkatan emisi menghangatkan atmosfer menyebabkan kenaikan permukaan laut, memicu kekeringan, kebakaran hutan dan lahan.
“Kondisi ini mendorong hewan, seperti nyamuk, kelelawar mencari habitat baru seperti mendekati manusia dan menyebabkan penyakit zoonosis,” tuturnya.
Tak hanya itu, perubahan iklim juga mengancam penyakit dan akses kesehatan menyusul tingginya bencana hidrometeorologi, seperti banjir, dan tanah longsor.
Dicky menyebut, secara jangka panjang bencana ini tak hanya memperparah penyakit kulit, diare, hingga tifus tapi juga terganggunya pelayanan kesehatan. “Indonesia merupakan negara berkembang, bila terdampak bencana hidrometeorologi terus menerus maka akses seperti vaksinasi, imunisasi untuk pencegahan penyakit akan sangat terdampak,” ungkapnya.
Selain itu, perubahan iklim juga berdampak pada peningkatan penyakit tak menular. Mulai dari hipertensi, penyakit kardiovaskuler, hingga kematian lansia yang berbanding lurus dengan panasnya suhu bumi.
Ia mengingatkan, pentingnya semua elemen masyarakat memastikan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Hal yang tak kalah penting yakni memastikan infrastruktur pada pembangunan kesehatan. Terlebih, Indonesia merupakan negara rawan bencana yang belum siap untuk menghadapi perubahan iklim.
“Selain mitigasi dalam aspek lingkungan, tapi juga infrastruktur. Misalnya rumah sakit harus ada program siap bencana dan pencegahan perubahan iklim dengan memastikan pengurangan emisi, dan transportasi yang berwawasan lingkungan,” ucapnya.
Bencana Hidrometeorologi Mendominasi
Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, 95 persen bencana di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi dalam lima tahun terakhir. Sebelumnya, Plt Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari menyatakan, kejadian bencana tersebut, di antaranya banjir tanah, longsor, cuaca ekstrem, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Lebih jauh, ia menyebut, dalam lima tahun terakhir, pada tahun 2020 dan 2021 merupakan tahun dengan kejadian bencana terbanyak. Hal ini karena pengaruh fenomena La Nina yang berimbas pada peningkatan frekuensi kejadian hujan, baik itu curah hujannya maupun seberapa sering hujan terjadi di wilayah Indonesia.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin