Surabaya (Greenersmagz) – Subsidi energi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik masih menjadi polemik tersendiri bagi bangsa Indonesia saat ini. Isu tentang kenaikan BBM dan tarif tenaga listrik (TTL) kerap menuai berbagi persepsi di masyarakat dari berbagai lapisan serta lembaga maupun perusahaan.
Meski pada dasarnya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi selalu membutuhkan pasokan energi, namun, sampai saat ini, penggunaan energi baru terbarukan masih cenderung sedikit sekali. Sehingga, pemerintah perlu lebih maksimal berupaya membangun infrastruktur gas bumi yang cenderung lebih berkelanjutan untuk mengatasi masalah tersebut.
Guru besar Teknik Elektro ITS, Mochamad Ashari, mengatakan, saat ini masih terdapat 27 persen masyarakat Indonesia yang belum memiliki akses terhadap listrik. Padahal, sejatinya penyesuaian TTL sebesar 15 persen secara bertahap.
Subsidi listrik ini, pungkas Ashari, utamanya tetap diprioritaskan bagi konsumen tidak mampu, sedang tarif konsumen lainnya ditetapkan sesuai Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik dan keekonomian secara bertahap.
“Pembangkit listrik yang ada sebagian besar juga masih menggunakan fosil dan pemakaian BBM masih cukup tinggi, belum banyak digunakan sumber energi terbarukan,” ungkapnya, Selasa (29/1/2013).
Beberapa pekan lalu, Ikatan Alumni ITS (IKA ITS) bersama Pusat Studi Energi LPPM ITS menghelat Simposium Energi Nasional 2013 bertajuk Pengendalian Subsidi BBM dan Subsidi Listrik Demi Kemajuan Bangsa. Dalam kegiatan tersebut, hadir beberapa panelis utama dianggap berkompeten mengelola kebijakan soal energi.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Staf Ahli Kementerian, Hadi Purnomo, menyebutkan, tahun ini subsidi khusus untuk energi telah diminimalisasi. Disebutkan, tahun 2013, dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dialokasikan dana subsidi energi sebesar Rp 272,4 triliun.
“Pengendalian BBM Bersubsidi dan penyesuaian Tarif Tenaga Listrik (TTL) sebesar 15 persen secara bertahap, kecuali untuk golongan pelanggan 450 VA dan 900 VA,” bebernya.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha, menyayangkan bahwa kebanyakan akademisi masih tidak paham dengan politik anggaran Indonesia dalam subsidi energy, di antara Undang-Undang (UU) apapun dalam pemerintahan.
Padahal, UU APBN termasuk yang sangat detail membahas persoalan energi dan listrik baik dari kerangka maupun nominalnya. Menurutnya, sebagian besar pendapatan migas habis hanya untuk subsidi energi yang saat ini dinilai tidak tepat sasaran.
Namun, paradigma yang saat ini ada di masyarakat Indonesia adalah subsidi merupakan hak rakyat.
Menurutnya, ketika subsidi dikurangi, warga negara merasa terambil haknya oleh pemerintah. Padahal yang dipikirkan oleh pemerintah adalah bagaimana mengurangi subsidi, lalu dialokasikan untuk menggerakkan perekonomian negara.
“Misalnya, apabila melihat pendapatannya, Minyak dan Gas (Migas) disertai pajaknya hanya mencapai Rp 300 triliun. Alokasi dana tersebut yang kemudian diterapkan sebaik-baiknya dan tepat sasaran. Jadi memang ada yang salah dalam postur APBN kita, banyak yang terkunci tak bisa diubah, dan menyebabkan pembangunan terhambat,” sesalnya.
Ia mengungkapkan, belanja APBN untuk subsidi energi mencapai Rp 272,4 triliun hanya untuk energi. Sementara anggaran untuk belanja modal hanya Rp 216,1 triliun. Satya yang juga alumni ITS ini, menyebutkan, normalnya anggaran modal lebih besar daripada anggaran untuk subsidi energi. (G25)